Orang Batak Karo

Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.
(Dilencongkan dari Karo)
Orang Batak Karo
Kalak Karo
Sepasang suami isteri Karo yang baru berkahwin memakai pakaian tradisional Karo, majelis perkawinan yang dipanggil sebagai Erdemu Bayu dalam bahasa Karo tempatan.
Jumlah penduduk
1,232,655 (2013)[1]
Kawasan ramai penduduk
 Indonesia (Kabupaten Karo, Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat)
Bahasa
Karo, Indonesia
Agama
Kumpulan etnik berkaitan

Orang Batak Karo atau Kalak Karo adalah suku yang mendiami Dataran Tinggi Karo, sebagian wilayah Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) iaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo.

Jati diri Karo[sunting | sunting sumber]

Rumah panjang tradisional di kampung Karo berhampiran Tasik Toba, sekitar tahun 1870.

Orang Karo bercakap bahasa Karo, bahasa Batak Utara tetapi tidak saling difahami dengan bahasa Batak Selatan, selain bahasa Indonesia. Orang Karo ini terbahagi kepada puak atau merga. Merga Karo ialah Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Perangin-Angin, dan Tarigan; merga ini kemudiannya dibahagikan kepada sub-puak dan akhirnya keluarga.

Pada abad ke-13 hingga ke-16, orang Karo mendirikan Kerajaan Aru (juga dieja Haru), yang terletak di kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang zaman sekarang. Ia merupakan salah satu kerajaan terawal di Sumatera.[4] Penduduk Kerajaan Aru menganut animisme asli, Hindu dan Islam. Islam perlahan-lahan mendapat pengaruh di kawasan pantai sejak akhir abad ke-13. Walaupun merupakan antara kerajaan Sumatera terawal yang terdedah kepada agama Islam, penduduk kerajaan Aru tetap didominasi pagan, terutama mereka yang mendiami kawasan pedalaman. Negeri pengganti Kerajaan Aru ialah Kesultanan Deli, yang menunjukkan pengaruh campuran Karo, Melayu, Tamil, dan Aceh.

Hari ini, kebanyakan orang Karo adalah Kristian, agama yang dibawa ke Sumatera pada abad ke-19 oleh mubaligh. Walau bagaimanapun, semakin ramai yang tinggal jauh dari Tanah Tinggi Karo telah memeluk agama Islam, dengan pengaruh Melayu Islam dari kawasan jiran Deli di Medan, dan pendatang Jawa, sekali gus menjadikan tabiat tradisional penternakan babi dan memasak kurang biasa. Sesetengah orang Islam dan Kristian, bagaimanapun, masih mengekalkan kepercayaan animisme tradisional mereka terhadap hantu, roh (perbegu), dan perubatan tradisional hutan, walaupun fakta itu bercanggah dengan kepercayaan mereka yang lain. Gereja Batak Karo Protestan atau Gereja Protestan Batak Karo adalah gereja terbesar di kalangan masyarakat Karo yang sebahagian besarnya beragama Kristian di Sumatera Utara, Indonesia. Jemaah puak ini telah ditubuhkan secara rasmi pada tahun 1941 sebagai gereja Reformed-Calvinist. Gereja ini mempunyai 276,000 ahli (sehingga 2006) dalam 398 jemaah dengan 196 pastor.[5] Ia adalah ahli Komuni Gereja Reformed Sedunia.[6]

Orang Karo secara tradisinya tinggal di rumah panjang kongsi yang juga dipanggil "rumah Siwaluh Jabu", tetapi kini sangat sedikit (satu di Desa Lingga, daerah Karo), dan pembinaan baru adalah eksklusif reka bentuk moden.

Nenek moyang orang Karo dipercayai telah berhijrah dari Formosa (Taiwan) beribu-ribu tahun dahulu, tetapi dipercayai bahawa sesetengah orang Karo mungkin telah berkahwin campur dengan orang Tamil yang melawat. Persetubuhan ini mempunyai pengaruh ke atas kepercayaan agama mereka, serta solek etnik. Marga Sembiring, yang bermaksud 'yang hitam', dan banyak sub-marga Sembiring (Colia, Berahmana, Pandia, Meliala, Depari, Muham, Pelawi dan Tekan) jelas berasal dari India Selatan, menunjukkan bahawa perkahwinan campur antara Karo dan Tamil orang berlaku.[7]

Kewujudan Kerajaan Haru-Karo[sunting | sunting sumber]

Kerajaan Haru-Karo mulai menjadi kerajaan besar di Sumatera, namun tidak diketahui secara pasti kapan berdirinya. Namun demikian, Brahma Putra, dalam bukunya "Karo dari Jaman ke Jaman" mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama "Pa lagan". Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku Karo. Mungkinkah pada masa itu kerajaan haru sudah ada?, hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.(Darwan Prinst, SH :2004)

Kerajaan haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut.

Kerajaan Haru identik dengan suku Karo,iaitu salah satu suku di Nusantara. Pada masa keemasannya, kerajaan Haru-Karo mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau. Eksistensi Haru-Karo di Aceh dapat dipastikan dengan beberapa nama desa di sana yang berasal dari bahasa Karo. Misalnya Kuta Raja (Sekarang Banda Aceh), Kuta Binjei di Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksmana Mahmud, Kuta Cane, Blang Kejeren, dan lainnya. (D.Prinst, SH: 2004)

Terdapat suku Karo di Aceh Besar yang dalam logat Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad", (1981). Beliau menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya "Tarikh Aceh dan Nusantara" (1961) dikatakan bahwa di lembah Aceh Besar disamping Kerajaan Islam ada kerajaan batak Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari Ke-20 Mukim bercampur dengan suku Batak Karo yang dalam bahasa Aceh disebut batak Karee. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.

Kelompok karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi "Kaum Lhee Reutoih" atau kaum tiga ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang tanding. Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus.

Dikemudian hari terjadi pencampuran antar suku Karo dengan suku Hindu dan mereka disebut sebagai kaum Jasandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imam Pewet dan Kaum Tok Batee yang merupakan campuran suku asing seperti: Kaum Hindu, Arab, Persia, dan lainnya

Wilayah Orang Karo[sunting | sunting sumber]

Sering terjadi kekeliruan dalam percakapan sehari-hari di masyarakat bahwa Taneh Karo diidentikkan dengan Kabupaten Karo. Padahal, Taneh Karo jauh lebih luas daripada Kabupaten Karo karena meliputi:

  • Kabupaten Taneh Karo;
  • Kota Medan;
  • Kota Binjai;
  • Kabupaten Dairi;
  • Kabupaten Deli Serdang;
  • Kabupaten Langkat;
  • Kabupaten Aceh Tenggara.

Kabupaten Taneh Karo[sunting | sunting sumber]

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Yulianti H, Olivia (2014), The Study of 'Batak Toba' Tribe Tradition Wedding Ceremony (PDF), Politeknik Negeri Sriwijaya, m/s. 1, dicapai pada 2017-03-24
  2. ^ Voice of Nature, Volumes 85-95. Yayasan Indonesia Hijau. 1990. m/s. 45.
  3. ^ Ahmad Yunus; Siti Maria; Kencana S. Pelawi; Elizabeth T. Guming (1994). Anto Ahadiat (penyunting). Makna pemakaian rebu dalam kehidupan kekerabatan orang Batak Karo (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Pusat. m/s. 18. OCLC 609788612.
  4. ^ Dominik Bonatz; John Miksic; J. David Neidel, penyunting (2009). From Distant Tales: Archaeology and Ethnohistory in the Highlands of Sumatra. Cambridge Scholars Publishing. ISBN 9781443807845.
  5. ^ Karo Batak Protestant Church.
  6. ^ "Member churches | Bringing together 80 million Reformed Christians worldwide". Diarkibkan daripada yang asal pada August 8, 2012. Dicapai pada August 18, 2013.
  7. ^ Andaya, L. (2002). "The Trans-Sumatra Trade and the Ethnicization of the Batak". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 158 (3): 367–409. doi:10.1163/22134379-90003770. Diarkibkan daripada yang asal pada 2012-03-02.