Kementerian Keuangan Indonesia

Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.
Kementerian Keuangan Indonesia
Intisari agensi
Dibentuk19 Ogos 1945; 78 tahun yang lalu (1945-08-19)
Ibu pejabatJalan Dr. Wahidin Raya No. 1 Jakarta, Indonesia
MotoNegara Dana Rakca
("Penjaga Keuangan Negara")
Menteri bertanggungjawab
Timbalan menteri bertanggungjawab
Eksekutif Agensi
  • Hadiyanto, Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan Indonesia
Laman sesawang
Kemenkeu.go.id

Kementerian Keuangan Republik Indonesia (disingkatkan kepada Kemenkeu) adalah sebuah kementerian dalam pemerintah Indonesia yang mengkhusus dalam urusan kewangan dan kekayaan negara tersebut. Kementerian ini dipertanggungjawabkan kepada Presiden Republik Indonesia.

Kementerian ini dipimpin oleh seorang Menteri Keuangan dijawat oleh Sri Mulyani sejak tanggal 27 Julai 2016.

Kementerian Keuangan mempunyai motto Nagara Dana Rakça yang berarti Penjaga Keuangan Negara terletak di Jalan Dr. Wahidin Nomor 1 dan Jalan Lapangan Banteng Timur Nomor 2-4, Jakarta Pusat. Keduanya merupakan kompleks yang terdiri dari beberapa gedung yang letaknya saling berseberangan. Kebanyakan instansi setingkat eselon I di bawah Kementerian Keuangan bertempat di lokasi ini. Instansi eselon I di bawah Kementerian Keuangan yang tidak berkantor pusat di dalam komplek tersebut antara lain Direktorat Jenderal Pajak (Jalan Gatot Subroto No. 40-42), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Jalan Jenderal Ahmad Yani, Rawamangun), dan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (Jalan Purnawarman No.99 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan).

Sejarah kementerian[sunting | sunting sumber]

Di Indonesia, sejarah pengelola keuangan pemerintahan sudah ada sejak masa lampau. Tiap pemerintahan, dari zaman kerajaan sampai sekarang, memiliki pengelola keuangan untuk dapat melaksanakan pembangunan perekonomian di pemerintahannya. Pengelolaan keuangan pemerintahan disini meliputi semua milik pemerintahan atau kekayaan yang dimiliki oleh suatu pemerintahan. Keuangan yang dikelola berasal dari masyarakat yang berupa upeti, pajak, bea cukai, dan lain-lain.[1]

Sebagai bagian dari suatu pemerintahan, Kementerian Keuangan merupakan instansi pemerintah yang mempunyai peranan vital di dalam suatu negara untuk melakukan pembangunan perekonomian. Pembangunan ekonomi akan berjalan lancar apabila disertai dengan administrasi yang baik dalam pengelolaan keuangan negara. Peranan vital Kementerian Keuangan adalah mengelola keuangan negara dan membantu pimpinan negara dalam bidang keuangan dan kekayaan negara. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan dapat dikatakan sebagai penjaga keuangan negara (Nagara Dana Raksa).[1]

Pra-Kemerdekaan[sunting | sunting sumber]

Pengusiran Portugis oleh Belanda menjadikan Belanda mempunyai tempat untuk menancapkan kukunya di Hindia Belanda, dengan melimpahkan wewenang kepada Syarikat Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, VOC) yang pada saat itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen (1619-1623 dan 1627-1629), diberi hak octrooi yang salah satunya adalah mencetak uang dan melakukan kebijakan perekonomian. Sejak tahun 1600-an, VOC mengeluarkan kebijakan untuk menambah isi kas negara dengan menetapkan peraturan verplichte leverentie (kewajiban menyerahkan hasil bumi pada VOC), contingenten (pajak hasil bumi, pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah agar harganya tinggi, dan preangerstelsel (kewajiban menanam pohon kopi).[1] Pada bulan maret 1809, setelah menjual tanah weltevreden, pemerintahan Daendels memutuskan membangun sebuah istana yang berhadapan dengan lapangan parade Waterlooplein. Istana ini rencananya digunakan sebagai pusat pemerintahan dan dipakai untuk kepentingan gubernur jenderal, dalam rangka pemberian kebijakan. Selain itu, gedung ini juga difungsikan sebagai tempat tahanan.[1]

Sebagai pengganti Daendels, Gubernur Jansen kurang menaruh perhatian pada pembangunan gedung, sehingga selama masa jabatannya pembangunan gedung itu telantar.[1]

Kemudian, pembangunan istana ini dilanjutkan oleh Letnan Kolonel J.C Schultze, perwira yang berpengalaman membangun gedung Societet Harmonie di Batavia. Namun, pembangunan istana sempat terhenti karena Hindia Belanda beralih kekuasan ke Inggris.[1]

Pemerintahan Inggris melalui Thomas Stamford Raffles (1811-1816) mengeluarkan kebijakan baru dengan nama Landrent (pajak tanah), dengan mengubah pola pajak bumi yang diterapkan Belanda sebelumnya. Harapan Raffles mengeluarkan kebijakan tersebut, agar masyarakat Hindia Belanda memiliki wang untuk membeli produk Inggris. Pada intinya adalah memperluas pasar bagi produk yang dihasilkan dan menyerap hasil produksi oleh penduduk. Kebijakan yang dilakukan Raffles mengalami kegagalan karena tidak adanya dukungan dari raja dan bangsawan setempat, dan penduduk kurang mengerti mengenai wang dan perhitungan pajak.[1]

Hindia Belanda kemudian dikuasai kembali oleh Belanda setelah melalui kesepakatan Inggris-Belanda. Pada zaman ini, perbaikan perekonomian mulai dilaksanakan. Jenderal Du Bus (1826), sebagai Gubernur Jenderal pada masa itu, melanjutkan pembangunan istana tersebut dengan bantuan Ir. Tromp, yang selesai pada 1828. Bangunan tersebut digunakan sebagai kantor pemerintahan Hindia Belanda, yang diresmikan sendiri oleh Gubernur Du Bus. Di tahun yang sama, Du Bus juga mendirikan De Javasche Bank dengan alasan kondisi kewangan di Hindia Belanda dianggap memerlukan penertiban dan pengaturan sistem pembayaran.[1]

Pada tahun 1836, atas inisiatifnya, van Den Bosch mulai memberlakukan sistem tanam paksa yang bertujuan untuk mengeluarkan berbagai komoditi memenuhi permintaan di pasar dunia. Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka mengenalkan penggunaan wang di masyarakat Hindia Belanda. Cultuurstelsel dan kerja rodi (kerja paksa) mampu mengenalkan ekonomi wang pada masyarakat pedesaan. Hal ini dilihat dengan meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi. Reformasi kewangan sudah berkali-kali dilakukan, tetapi belum menghasilkan kewangan yang sehat.[1]

Kebijakan selanjutnya yang dilakukan pemeritahan Belanda di Hindia Belanda adalah Laissez faire laissez passer, yaitu perekonomian diserahkan pada pihak swasta (kaum kapitalis). Kebijakan ini dilakukan atas desakan kaum Humanis Belanda yang menginginkan perubahan nasib warga agar lebih baik. Peraturan agraria baru ini bukannya mengubah menjadi lebih baik melainkan menimbulkan penderitaan yang tidak layak. Pada masa ini Departement van Financien dibentuk dan bertempat di istana Daendels karena pusat pemerintahan berpindah ke tempat lain. Gedung ini dijadikan sebagai tempat pengkoordinasian pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasif kewangan ke tempat lain.[1]

Kekurangan tenaga ahli kewangan membuat pemerintah Belanda menyelenggarakan berbagai kursus bagi orang Belanda dan orang Pribumi yang dipandang mampu. Kursus yang diikuti adalah kursus ajun pengaturan perbendaharaan. Terpusatnya tempat pengelolaan kewangan dimaksudkan untuk memudahkan pengontrolan pemasukan dan pengeluaran negara. Terjadinya keadaan ekonomi yang memprihatinkan adalah alasan utama dibentuknya Departement of Financien.[1]

Meletusnya Perang Dunia Kedua di Eropah yang terus menjalar hingga ke wilayah Asia Pasifik menggentingkan kedudukan Indonesia sebagai jajahan Belanda sangat sulit, ditambah lagi dengan terjepitnya pemerintah Belanda akibat serbuan Jepun. Menjelang kedatangan Jepun di Pulau Jawa, Presiden DJB, Dr. G.G. van Buttingha Wichers berhasil memindahkan semua simpanan emas Hindia Timur ke Australia dan Afrika Selatan melalui pelabuhan Cilacap.[1]

Selama menduduki Hinfia Timur, Jepun menjadikan kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan. Gedung Departement of Finance dijadikan tempat untuk melakukan kegiatan kewangan sehari-hari. Gedung ini dijadikan sebagai tempat pengolahan kewangan dan pemutusan kebijakan ekonomi oleh Jepun. Pada 7 Maret 1943, patung Jan Pieterzoon Coen yang berada di depan gedung Department of Financien dihancurkan Jepun karena dianggap sebagai lambang penguasa Batavia.[1]

Banyak dari tenaga ahli kewangan Belanda ditawan oleh Jepun, dan beberapa orang yang ahli dan berpengalaman dijadikan sebagai tenaga pengajar kewangan pada putra-putri Indonesia. Kekurangan tenaga kewangan menjadikan Jepun mendidik rakyat Hindia Belanda untuk mengikuti pendidikan kewangan. Selama 1942-1945, Jepun menerapkan beberapa kebijakan seperti, memaksa penyerahan seluruh aset bank, melakukan ordonansi berupa perintah likuidasi untuk seluruh Bank Belanda, Inggris, dan Cina. Selain itu, Jepun juga melakukan invasion money senilai 2.4 miliar gulden di pulau Jawa hingga 8 milyar gulden (pada tahun 1946). Tujuan invasion money yang dilakukan oleh Jepun adalah menghancurkan nilai mata wang Belanda yang sudah telanjur beredar di Hindia Belanda.[1]

Fokus pendudukan Jepun di Hindia Belanda terhadap perang pasifik menyebabkan Jepun melakukan kebijakan yang membuat terjadinya krisis kewangan. Jepun melakukan perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat  merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan bekalan makanan hasil mengurangkan penghasilan minyak. Jepun melakukan pengurasan kekayaan alam dan hasil bumi, dan menjadikan para tenaga produktif sebagai romusha. Hiperinflasi yang terjadi pasa masa ini menyebabkan pengeluaran bertambah besar, sedangkan pemasukan pajak dan bea masuk turun drastis. Kebijakan ala tentara Dai Nippon merugikan penduduk Indonesia.[1]

Masa Kemerdekaan[sunting | sunting sumber]

Setelah Jepun menyerah pada 15 Agustus 1945, Indonesia segera memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Kota Jakarta dijadikan pusat pemerintahan. Pada masa ini, Gedung Department of Financien masih berfungsi sebagai pusat kegiatan pengolahan keuangan sehari-hari. Keadaan ekonomi keuangan awal kemerdekaan amat buruk, dimana terjadi inflasi yang tinggi yang disebabkan beredarnya tiga buah mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepun. Mata uang Jepun yang beredar sekitar 4 Milyar dan uang merah NICA menyebabkan terjadinya inflasi tinggi. Permasalahan ekonomi ini menyebabkan diadakannya rapat tanggal 2  september 1945 oleh BPKKP dan BKR di karesidenan Surabaya. Mereka sama-sama menyadari, disamping mempertahankan kemerdekaan selain kekuatan bersenjata juga diperlukan kekuatan dana untuk membiayai perjuangan itu.[1]

Dalam wacana mencari dana, terpetik berita mengenai Dr,Samsi, seorang ekonom dan tokoh pergerakan cukup terkenal di Surabaya. Pada kabinet presidensial pertama RI 19 Agustus 1945, Soekarno mengangkat Dr. Samsi sebagai Menteri Keuangan. Dr. Samsi memiliki peranan besar dalam usaha mencari dana guna membiayai perjuangan RI. Ia mendapatkan informasi bahwa di dalam Bank Escompto Surabaya tersimpan uang peninggalan pemerintahan Hindia Belanda yang dikuasai Jepun. Kedekatannya dengan pemerintah Jepun memudahkannya untuk melakukan upaya pencairan dana, sehingga dapat digunakan untuk perjuangan. Pada 26 September 1945 Dr. Samsi mengundurkan diri dan digantikan oleh A.A. Maramis.[1]

Hari Oeang[sunting | sunting sumber]

jmpl|Oeang Republik Indonesia (ORI) Emisi I (depan/belakang) Pada 24 Oktober 1945, Menteri Keuangan A.A Maramis menginstruksikan tim serikat buruh G. Kolff selaku tim pencari data untuk menemukan tempat percetakan uang dengan teknologi yang relatif modern. Hasilnya, percetakan G. Kolff Jakarta dan Nederlands Indische Mataaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) Malang dianggap memenuhi persyaratan. Menteri pun melakukan penetapan pembentukan Panitia Penyelenggaraan Percetakan Uang Kertas Republik Indonesia yang diketuai oleh TBR Sabarudin. Akhirnya, uang ORI (Oeang Republik Indonesia) pertama berhasil dicetak. Upaya percetakan ORI ini ditangani oleh RAS Winarno dan Joenet Ramli.[1]

Pada 14 November 1945 pada masa kabinet Sjahrir I, Menteri keuangan dijabat oleh Mr. Sunarjo Kolopaking. Mr. Sunarjo mengikuti konferensi Ekonomi Februari 1946 yang bertujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat, dalam rangka menanggulangi masalah produksi dan distribusi makanan, sandang serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan. Pada 6 Maret 1946, panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah yang dikuasai sekutu. Hal ini menyebabkan kabinet Sjahrir berupaya untuk menindaklanjuti pengumuman NICA tersebut untuk mengedarkan ORI. Hanya saja, peredaran ORI tersebut membutuhkan dana. Langkah awal kabinet Sjahrir adalah menggantikan Menteri Keuangan oleh Ir. Surachman Tjokroadisurjo. Upaya utama yang dilakukan oleh Ir. Surachman untuk mengatasi kesulitan ekonomi adalah, melakukan Program Pinjaman Nasional dengan persetujuan BP-KNIP pada Juli 1946. Selain itu, ia juga melakukan penembusan blokade dengan diplomasi beras ke India dan mengadakan kontrak dengan perusahaan swasta Amerika yang dirintis oleh para pengusaha Amerika Serikat yang dirintis oleh badan semi pemerintah bernama Banking and Trading Coorporations dibawah pimpinan Soemitro Djojohadikusumo. Ia juga menembus blokade Sumatra dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia, dengan membuka perwakilan dagang resmi yang bernama Indonesia Office (Indoff).[1]

Pada 2 Oktober 1946, Menteri keuangan digantikan oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Akhirnya, usaha penerbitan uang sendiri memperlihatkan hasilnya dengan diterbitkannya EMISI PERTAMA uang kertas ORI pada tanggal 30 Oktober 1946. Pemerintah Indonesia menyatakan tanggal tersebut sebagai tanggal beredarnya Oeang Republik Indonesia (ORI) dimana uang Jepun, uang NICA, dan uang Javasche Bank tidak berlaku lagi. ORI pun diterima dengan perasaan bangga oleh seluruh rakyat Indonesia. Mata uang yang dicetak itu ditandatangani oleh Alexander Andries Maramis (15 mata uang zaman 1945-1947).[1]

30 Oktober disahkan sebagai Hari Keuangan Republik Indonesia oleh presiden berdasarkan lahirnya uang emisi pertama Republik Indonesia, yang membanggakan seluruh rakyat Indonesia. Uang adalah lambang utama suatu negara merdeka serta sebagai alat untuk memperkenalkan diri kepada khalayak umum. Untuk menghargai jasa A.A Maramis, maka gedung Department of Financien atau gedung Daendels diberi nama gedung A.A Maramis. Gedung ini menjadi pusat kerja Menteri Keuangan selaku pimpinan Departemen Keuangan Republik Indonesia saat menjalankan tugasnya sehari-hari. Seiring dengan kebutuhan akan koordinasi antar unit, sejak tahun 2007 gedung Menteri Keuangan dipindah ke Gedung Djuanda 1 yang berlokasi di seberang gedung A.A Maramis.[1]

Perubahan Nomenklatur Kementerian[sunting | sunting sumber]

Menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara juncto Peraturan Presiden Nomor 47 tahun 2009 tentang pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, serta merujuk pada surat edaran Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan Nomor SE-11 MK.1/2010 tentang perubahan Nomenklatur Departemen Keuangan menjadi Kementerian keuangan, maka sejak 2009 Departemen Keuangan resmi berubah nama menjadi Kementerian Keuangan.[1]

Tugas dan fungsi[sunting | sunting sumber]

Menurut Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2015, Kementerian Keuangan mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas, Kementerian Keuangan menyelenggarakan fungsi:

  1. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang penganggaran, pajak, kepabeanan dan cukai, perbendaharaan, kekayaan negara, perimbangan keuangan, dan pengelolaan pembiayaan dan risiko;
  2. perumusan, penetapan, dan pemberian rekomendasi kebijakan fiskal dan sektor keuangan;
  3. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan;
  4. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan;
  5. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Keuangan;
  6. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Keuangan di daerah;
  7. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah;
  8. pelaksanaan pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi kompetensi di bidang keuangan negara; dan
  9. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan.[2]

Struktur organisasi[sunting | sunting sumber]

Susunan Organisasi Kementerian Keuangan menurut Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2015 terdiri atas:

  1. Wakil Menteri Keuangan
  2. Sekretariat Jenderal
  3. Direktorat Jenderal
  4. Inspektorat Jenderal
  5. Badan
  6. Staf ahli
    • Staf Ahli Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak
    • Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak
    • Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak
    • Staf Ahli Bidang Kebijakan Penerimaan Negara
    • Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara
    • Staf Ahli Bidang Makro Ekonomi dan Keuangan Internasional
    • Staf Ahli Bidang Kebijakan dan Regulasi Jasa Keuangan dan Pasar Modal
    • Staf Ahli Bidang Organisasi, Birokrasi, dan Teknologi Informasi [2]

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Templat:Indo-stub