Suku Betawi: Perbezaan antara semakan

Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.
Kandungan dihapus Kandungan ditambah
Tiada ringkasan suntingan
Teg-teg: Suntingan mudah alih Suntingan web mudah alih
Teg-teg: Suntingan mudah alih Suntingan web mudah alih
Baris 21: Baris 21:


==Sejarah==
==Sejarah==
Diawali oleh orang [[Sunda]], sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam [[Kerajaan Tarumanegara]] serta kemudian [[Pakuan Pajajaran]]. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari [[Melaka]] di semenanjung Tanah Melayu, bahkan dari [[China]] serta Gujerat di [[India]].
Diawali oleh orang Melayu sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam [[Kerajaan Jatinegara]] serta kemudian. Selain orang terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari [[Melaka]] di semenanjung Tanah Melayu, bahkan dari [[China]] serta Gujerat di [[India]].


Waktu '''Fatahillah''' dengan tentara '''Demak''' menyerang '''Sunda Kelapa (1526/27)''', orang Sunda yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arah '''Bogor'''. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang '''Banten''' yang terdiri dari orang yang berasal dari '''Demak''' dan '''Cirebon'''. Sehingga JP Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Cina, semua penduduk ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).
Waktu '''Fatahillah''' dengan tentara '''Demak''' menyerang ''' (1526/27)''', yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arah '''Bogor'''. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang '''Banten''' yang terdiri dari orang yang berasal dari '''Demak''' dan '''Cirebon'''. Sehingga JP Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Cina, semua penduduk ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).
Pada awal abad ke-17 sempadan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar kubu dan tembok kota tidak aman, antara lain kerana gerila Banten dan sisa tentera Mataram (1628/29) yang tidak mahu pulang. Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah bersekutu.
Pada awal abad ke-17 sempadan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar kubu dan tembok kota tidak aman, antara lain kerana gerila Banten dan sisa tentera Mataram (1628/29) yang tidak mahu pulang. Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah bersekutu.

Semakan pada 10:54, 11 Ogos 2020

Melayu Betawi
Silat Betawi
Kawasan ramai penduduk
Jakarta: 2.7 juta
Jakarta: 1.285.233
Malaysia, Singapura, Brunei, Australia, United Kingdom, Amerika Serikat
Bahasa
Betawi, Indonesia
Agama
Majoriti Islam, sebahagian sangat kecil Katolik dan Protestan
Kumpulan etnik berkaitan
Melayu

Suku Melayu Betawi ialah suku asal daripada bandar Jakarta. Suku Melayu Betawi sebenarnya termasuk dalam kategori suku baru di Indonesia kerana kelompok etnik ini lahir dari pelbagai macam kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di bandar Jakarta, seperti orang , Arab, Cina, Bali, dan Melayu. Ahli Antropologi Universiti Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab menaksir bahawa etnik Melayu Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun (Abad ke-15) pada masa penjajahan Belanda. Secara Biologi, mereka yang mengaku sebagai orang Melayu Betawi ialah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa daripada Nusantara (Indonesia) yang ialah hasil perkahwinan campur antara etnik dan bangsa di masa lalu di Jakarta.

Sifat percampuran dalam Bahasa Melayu Indonesia kepada dialek Melayu Betawi adalah dipengaruhi kebudayaan Melayu Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkahwinan daripada pelbagai budaya berbeza yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara (Indonesia) dan juga kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, contohnya orang Melayu Betawi memiliki seni "Gambang Kromong" yang berasal daripada seni muzik Cina, tetapi juga ada Rebana yang berasal daripada seni muzik Arab, "Keroncong Tugu" dengan latar belakang percampuran seni Portugis dan Arab, dan ada seni muzik "Tanjidor" yang berlatar belakangkan daripada seni muzik Belanda. Pengaruh-pengaruh seni luar ini yang masuk ke Jakarta sejak dahulu dikembangkan oleh orang Betawi sebagai seni dan budaya asal daripada budaya orang kaum Betawi di Jakarta, walaupun tetap mempertahankan nilai-nilai ugama utama orang Betawi iaitu Islam.

Secara adat istiadat, suku Betawi mengikuti nilai-nilai Melayu dalam pelbagai segi kehidupan seperti bahasa, pakaian, makanan, agama, dll.

Budaya

Betawi merupakan budaya unik kerana memiliki unsur-unsur daripada Melayu, yang sangat berbeza daripada budaya Jawa, walaupun suku Betawi menduduki pulau Jawa. Ini dikarenakan suku Betawi ialah tergolong suku baru di Indonesia yang tergabung daripada pelbagai campuran suku dan kaum berbeza di Indonesia yang datang ke Jakarta dan selama bertahun-tahun menduduki bandar Jakarta, mereka mengenali diri mereka sendiri sebagai suku Betawi yang nama tersebut diambil daripada nama Jakarta pada masa penjajahan Belanda iaitu Batavia=Betawi. Orang Betawi pada umumnya beragama Islam seperti orang Melayu dan banyak nilai-nilai yang berasalkan daripada Melayu yang dikerjakan didalam Budaya Betawi seperti adanya Pantun, Silat, penggunaan Songkok oleh kaum lelaki, makanan Nasi uduk yang dibuat dari Santan seperti Nasi lemak Malaysia, dan lain-lain, oleh karenanya, Betawi dikategori sebagai suku Duetero Malayu.

Sejarah

Diawali oleh orang Melayu sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Jatinegara serta kemudian. Selain orang terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Melaka di semenanjung Tanah Melayu, bahkan dari China serta Gujerat di India.

Waktu Fatahillah dengan tentara Demak menyerang (1526/27), yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon. Sehingga JP Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Cina, semua penduduk ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).

Pada awal abad ke-17 sempadan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar kubu dan tembok kota tidak aman, antara lain kerana gerila Banten dan sisa tentera Mataram (1628/29) yang tidak mahu pulang. Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah bersekutu.

Ketika akhir abad ke-17, daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi yang digolongkan menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas. Sementara itu, jumlah orang Belanda masih sedikit. Ini disebabkan hingga pertengahan abad ke-19, wanita Belanda tidak ramai yang ikut serta. Akibatnya, banyak perkahwinan campur berlaku dan melahirkan sejumlah orang Indo di Batavia.

Tentang para budak itu, sebagian besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali menjadi tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya. Orang Tiong Hoa senang main kartu. Lukisan A van Pers dari tahun 40-an abad yang lalu, yang diterbitkan pada tahun 1856 di Den Haag.

Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melakukan perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat Tionghoa (mis. Penduduk dalam kota dan ‘Cina Benteng’ di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, mis: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.

Keturunan orang India -orang koja dan orang Bombay- tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak diantara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka. Di dalam kota, orang bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia. Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656.

Pada tahun 1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa (demikian Lekkerkerker). Gereja Immanuel di Gambir pada pertengahan abad ke 18

Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja Immanuel. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun sepuluh ribu orang dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan di luar kota.

Oleh sebab itu, apa yang disebut dengan orang atau Suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu.

Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan bancian, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data bancian penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.

Rumah Bugis di bagian utara Jl Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang imulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota. Hasil bancian tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moors, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. foto pada kartu pos dari awal abad ke 20 menggambarkan rumah-rumah Tiong Hoa di Maester. Jalan ke kiri menuju pasar Jatinegara lama. Sedangkan jalan utama adalah Jatinegara Barat menuju arah selatan.

Namun, pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data bancian tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu. Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Moh Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi - dalam arti apapun juga - tinggal sebagai minoritas.

Pada tahun 1961, ’suku’ Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur datau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.

Pautan luar