Lancang

Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.
Sebuah lancha yang dilihat oleh François-Edmond Pâris, 1841.

Lancang (juga ditulis sebagai lanchang atau lancha) adalah sejenis kapal layar dari kepulauan Melayu. Ia digunakan sebagai kapal perang, kapal pengangkut, dan sebagai kapal kerajaan, utamanya digunakan oleh orang-orang dari pantai timur Sumatra,[1]:579 tetapi juga dapat ditemukan di pesisir Kalimantan.[2]:193-194

Etimologi[sunting | sunting sumber]

Namanya berasal dari kata Melayu lancang yang berarti "cepat".[3]:261

Reka bentuk dan pembinaan[sunting | sunting sumber]

Model dari Lanchang To'Aru.

Penyebutan lancang paling awal adalah dari prasasti Julah bertarikh 844 Saka (923 masihi), yang menjelaskan perintah raja Sri Ugrasena mengenai peraturan tertentu. Prasasti ini menyebut beberapa istilah untuk kapal seperti lancang, parahu, jukung, talaka, bahitra, dan jong.[4]:316, 376 Bentuk pembinaan perahu tertua tercatat di Gilimanuk, Bali. Para pembina perahu itu disebut undagi lancang.[5][2]:56 Menurut prasasti Ngantang, lancang juga digunakan oleh Majapahit, dibina oleh undagi lancang di daerah kekuasaan Majapahit. Lancang pada era ini tidak mempunyai layar.[6][2]:72, 77, 81, 139, 193-194

Lancang mempunyai buritan persegi menggantung, di atas buritan garis air yang tajam.[1]:579 Lancang biasanya memiliki 2 tiang layar, tetapi versi dengan 1 dan 3 tiang juga direkod.[1]:579 Secara historis mereka dikemudikan menggunakan kemudi samping ganda, tetapi pada abad ke-18 mereka juga dapat menggunakan kemudi aksial yang dipasang di linggi buritan.[7]:254 Lancang terkecil (dengan hanya 1 tiang) panjangnya sekitar 5 depa (9.1 m), dengan lebar 1 depa (1.83 m), kedalaman 1.5 kaki (46 cm), freeboard 4 kaki (1.2 m), membawa muatan 5 pikul (312.5 kg), diawaki oleh 4 orang,[1]:583 manakala yang terbesar mungkin mencapai panjang kira-kira 26 m, berdasarkan kapal karam Sambirejo.[3]:261 Lancang dari era yang lebih tua menggunakan sistem layar tanja, tetapi dipping lugsail atau layar depan-dan-belakang digunakan setelah kedatangan orang Eropa. Lancang memiliki haluan "clipper", dengan anjungan depan segitiga depan untuk jangkar, yang juga berfungsi sebagai tiang cucur. Layar haluan boleh digunakan di haluan. Lambungnya dibina menggunakan teknik carvel-built, dibina dengan gaya yang sangat mirip dengan kapal-kapal Eropah. Mereka biasanya dipersenjatai dengan meriam pivot.[1]:579

Di Bandar, Malaysia, sejenis lancang yang disebut lancang To'Aru dibina.[Catatan 1] Ia mirip dengan lancang di lambungnya, tetapi dengan platform segi empat tepat yang tergantung di atas busur, di mana dua meriam putar dipasang. Layar menggunakan layar depan dan belakang dengan gap dan bom pada dua tiang. Kapal dengan sistem pelayaran seperti itu di pantai timur semenanjung Tanah Melayu umumnya membawa tiang atas yang panjang dan jibboom untuk belayar cuaca ringan.[1]:580

Peran[sunting | sunting sumber]

Model sebuah lancang kuning. Ia didorong oleh dayung, kemudinya adalah kemudi aksial. Di haluan adalah ukiran berbentuk naga. Dua meriam berat dipasang di sebuah apilan.

Peran lancang nampaknya terutama untuk perang[8]:122 dan sebagai kapal dagang, seperti kapal Melayu yang lain. Catatan Portugis menyebut mereka sebagai lanchão, dengan peran sebagai tongkang atau kapal pengangkut.[9]:189-190 Hubungan dengan orang-orang Eropa mengurangi perompakan laut Singapura pada tahun 1820-an, walaupun ia masih ada, menggunakan kapal-kapal yang lebih kecil dari yang digunakan sebelumnya, untuk beberapa dekad setelahnya. Di perairan di sekitar Singapura, perompak Melayu menggunakan lanchang, yang membawa 25–30 orang, dengan draft yang dangkal, menjadikannya mudah disembunyikan di hutan bakau. Lanchang yang mereka gunakan umumnya panjangnya sekitar 50–60 kaki (15.24–18.3 m), lebar 11–13 kaki (3.4–4 m), dengan 5–7 kaki (1.5–2.1 m) kedalamannya.[10]:377

Pada abad ke-20 lancang digunakan oleh negara-negara Melayu sebagai kapal kargo.[11]:355-356 Di pantai Sumatra digunakan oleh raja-raja Melayu sebagai kapal negara.[1]:579 Di Selangor, kapal kerajaan ini didedikasikan untuk melayani para roh, juga disebut kapal hantu. Ia akan dimuat dengan persembahan dan saji-sajian, kemudian dilarungkan untuk mendamaikan jin di laut.[1]:579-580[8]:122 Di Sumatera dan Kalimantan, lancang memainkan peranan penting dalam upacara menuai dan kadang-kadang kapal digunakan untuk mempersembahkan upacara kepada Tuhan. Kadang-kadang kepala naga diukir di busur sebagai representasi kekuatan yang menjaga keselamatan manusia.[2]:193-194

Dalam budaya tradisional[sunting | sunting sumber]

Di Riau, Indonesia, ada tradisi dan kisah tentang "lancang kuning", yang diambil sebagai metafora untuk kuasa pihak berkuasa dan negara. Pantun yang terkenal menerangkan perkara ini:[12]:12-13

Lancang kuning berlayar malam

Haluan menuju ke laut dalam

Kalau nakhoda kurang paham

Alamat kapal akan tenggelam

Galeri[sunting | sunting sumber]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Catatan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ To'Aru adalah salah seorang anggota dewan dari empat pemimpin besar Selangor, yang pada masa lalu mempunyai banyak kuasa, dan yang dipercayakan pemilihan Sultan. To'Aru adalah yang paling kuat dari empat pemimpin besar ini, dan mengambil namanya dari sebuah daerah bernama Aru, di Sumatera, dari mana dia datang untuk menetap di Selangor. Aru mungkin sama dengan kata Aru (juga eru atau 'ru), yang bermaksud pohon casuarina (pokok ru). Bandar adalah nama tempat (di sungai Langat) tempat To'Aru tinggal (Smyth, 1902: 580).

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h Smyth, H. Warington (May 16, 1902). "Boats and Boat Building in the Malay Peninsula". Journal of the Society of Arts. 50: 570–588 – melalui JSTOR.
  2. ^ a b c d Sukendar, Haris (1998). Perahu Tradisional Nusantara (Tinjauan Melalui Bentuk dan Fungsi). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  3. ^ a b Manguin, Pierre-Yves (1993). "Trading Ships of the South China Sea. Shipbuilding Techniques and Their Role in the History of the Development of Asian Trade Networks". Journal of the Economic and Social History of the Orient. 36: 253–280 – melalui JSTOR.
  4. ^ Poesponegoro, Marwati Djoened; Notosusanto, Nugroho (2019) [2008]. Sejarah Nasional Indonesia Edisi Pemutakhiran Jilid 2: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.
  5. ^ Soejono, R. P. (1976). "Tinjauan tentang Pengkerangkaan Prasejarah Indonesia". Aspek-aspek Arkeologi Indonesia no. 5, Proyek Pelita Pembinaan Kepurbakalaan dan Peninggalan Nasional.
  6. ^ Pinardi, Slamet dan Winston S. D. M. (1992). Perdagangan pada masa Majapahit, 700 Tahun Majapahit, 1293-1993 Suatu Bunga Rampai. Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah, Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.
  7. ^ Mitman, Carl W. (1923). "Catalogue of the Watercraft Collection in the United States National Museum". Bulletin. 127: 1–298.
  8. ^ a b Wilkinson, Richard James (1908). An Abridged Malay-English Dictionary (Romanised). Kuala Lumpur: F.M.S Government Press.
  9. ^ Soares, Antonio Xavier (1936). Portuguese Vocables in Asiatic Languages: From the Portuguese Original of Monsignor Sebastião Rodolfo Dalgado. Asian Educational Services.
  10. ^ Anonymous (October 1827). "Asiatic Intelligence". The Asiatic Journal and Monthly Register for British and Foreign India, China, and Australia. 24: 507.
  11. ^ Smyth, H. Warrington (1906). Mast and Sail in Europe and Asia. John Murray.
  12. ^ Effendy, Tenas (1969). Tjatatan tentang "Lantjang Kuning". Pekanbaru.