Orang Indo

Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.
Orang Indo
Kawasan ramai penduduk
Belanda431,000 (tahun 2001 termasuk generasi ke-2).[1]
Amerika Syarikat100,000 (termasuk generasi ke-2).[2]
Australia10,000 (tidak termasuk generasi ke-2)[3]
Bahasa
kebanyakan menutur Bahasa Belanda, Bahasa Inggeris dan Bahasa Indonesia;
dari segi sejarah: bahasa Melayu[4]
Agama
Belanda: Kristian, Islam, Buddha, Hindu dan "tiada agama"[5]
Kumpulan etnik berkaitan
Orang Belanda, orang Eropah lain, dan orang Indonesia, Afrikaner[6]
Puan Mertens memakai sarung dan Kebaya Jawa, sekitar tahun 1888

Orang Indo atau Indo ialah kata yang digunakan untuk memerikan "orang Eropah, Asia, dan orang berketurunan kacukan Eropah–Asia", dan orang yang mengaitkan diri mereka dengan, ataupun mengamalkan, budaya kolonial bekas jajahan Belanda, Hindia Timur Belanda, sebuah koloni Belanda di Asia Tenggara yang kemudiannya menjadi negara Indonesia selepas Perang Dunia Kedua.[7][8][9]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Kaum Indo terbentuk hampir seusia dengan kedatangan saudagar-saudagar Eropah, diawali oleh orang Portugis, lalu Sepanyol, British, dan kemudian Belanda. Bangsa-bangsa Eropah lain, seperti Belgium, Jerman, Prancis, dan Denmark berdatangan sesudahnya.

Tempoh awal pembentukan: Era Portugis dan Sepanyol (1500-1600)[sunting | sunting sumber]

Penjelajah dari Eropah mulai ramai datang ke Nusantara pada awal abad ke-16, sebagai konsekuensi dari Zaman Penjelajahan (Age of Exploration) yang melanda Eropah. Banyak di antara mereka yang tertarik untuk atau terpaksa menetap di negeri tujuan. Mereka adalah orang Portugis dan Sepanyol beserta hamba-hamba mereka dari India, Sri Lanka, Melaka, atau Nusantara bahagian timur (seperti Maluku, Bali, atau Gowa/Bugis). Misi Eropah berdatangan kerana perniagaan dan perdagangan, namun ada pula yang menetap kerana tugas keagamaan (misi). Cukup banyak yang kemudian menikah atau bahkan memiliki anak tanpa ikatan pernikahan dengan penduduk setempat, mengingat pendatang dari Eropah semuanya lelaki. Di Tanah Melayu pula, keturunan mereka saat ini disebut sebagai Melayu Eropah atau juga Serani. Di Indonesia, sisa-sisa dari masyarakat campuran ini dapat ditemukan di Maluku, Flores, Kampung Tugu (Cilincing, Jakarta Utara) serta Kampung Lamno Jaya, Aceh Barat. Masyarakat yang terakhir ini sekarang hampir pupus akibat bencana Tsunami Aceh 2004

Walaupun tempoh relatif ini singkat, terdapat banyak warisan budaya masyarakat ini yang masih dapat dilihat hingga sekarang. Cara bergaul orang Portugis yang relatif terbuka dan tidak rasis membuat budayanya banyak terserap secara mudah. Berbagai tanaman asal Amerika tropis, beberapa jenis kue (terutama bolu), sejumlah produk rumah tangga umum, serta berbagai permainan dan hiburan dari Eropah mulai dikenal masyarakat Nusantara melalui pendatang ini dan keturunannya. Laporan Belanda pada abad ke-19 bahkan menyatakan bahawa bahasa Portugis bahkan masih dipakai oleh orang-orang keturunan campuran Eropah (mestizo) di Batavia. Musik keroncong adalah bentuk musik dari masyarakat campuran warisan masa ini dan kelak menjadi salah satu penciri budaya Eropah-Indonesia pada abad ke-20.

Menjadi kelas masyarakat tersendiri : Di bawah SHTB/VOC (1600-1799)[sunting | sunting sumber]

Penulis sejarah Belanda, Vlekke, banyak menggambarkan peri kehidupan masyarakat Eropah-Indonesia pada abad ke-17 hingga ke-18.[10] Pada masa itu, orang berdarah Eropah terpusat di Batavia dengan jumlah tidak mencapai 10,000 orang, namun berkuasa. Kehidupan mereka sulit, terlihat dari banyaknya yang meninggal beberapa bulan setelah tinggal di Batavia. Praktis semua beragama Kristen. Bahasa yang mereka pakai adalah campuran Belanda, Portugis, dan Melayu (Pasar).

Mereka dapat dipisahkan dalam dua kelompok: trekkers dan blijvers. Trekkers (atau masa kini disebut ekspatriat) adalah orang Eropah yang segera berkeinginan kembali ke Eropah setelah tugasnya selesai dan blijvers adalah mereka yang mampu beradaptasi, lalu menetap di Hindia Belanda. Blijvers ini banyak yang beristri orang setempat (dijuluki Nyai, seperti dalam legenda Nyai Dasima) atau orang Tionghoa. Kedua kelompok ini juga berbeda orientasinya. Para trekkers cenderung mempertahankan nilai-nilai Eropah (barat) sehingga selalu eksklusif dan elitis, sementara para blijvers cenderung meleburkan diri ke dalam nilai-nilai lokal, meskipun mereka tetap merupakan representasi budaya Eropah. Namun, orang Belanda secara keseluruhan pada umumnya lebih banyak terserap dalam nilai-nilai setempat daripada sebaliknya.[11]

Mereka inilah yang menjadi inti masyarakat kelas menengah berciri kosmopolitan di Batavia pada masa itu. Orang-orang ini takut mandi, suka minum-minum (arak Batavia terkenal terbaik di seluruh Asia), dan suka bertaman. Contoh dari orang Eropah-Indonesia adalah Pieter Elberfeld (Erberfeld, menurut Vlekke[10]), seorang keturunan Jerman-Siam yang (dituduh) memimpin kerusuhan pada 1721, dan C. Suythoff, yang adalah menantu pelukis ternama Belanda, Rembrandt.

Pengaruh VOC sebenarnya hanya kuat di Batavia, sebahagian Jawa, serta di Maluku & Minahasa. Di wilayah-wilayah ini mulai muncul perbedaan kelas sosial berdasarkan warna kulit, meskipun belum dilembagakan secara hukum. Masyarakat Eropah dan keturunannya menempati kawasan terpisah dari kelompok lainnya. Di dalam masyarakat ini juga mulai terjadi segregasi. Kaum trekkers serta blijvers yang tidak memiliki darah campuran (disebut "Belanda totok") menganggap dirinya lebih "tinggi" daripada mereka yang memiliki darah campuran. Kaum campuran (miesling) ini biasanya dipekerjakan di kantor-kantor dagang untuk membantu tugas-tugas pencatatan atau lapangan. Pendidikan mereka kurang diperhatikan dan banyak bergaul dengan para hamba. Sebagai akibatnya, mereka banyak menyerap budaya lokal dan kurang memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang memadai. Bahkan tercatat bahawa pada akhir abad ke-18 banyak keturunan Belanda/Eropah yang lebih fasih berbahasa kreol-Portugis atau Melayu Pasar daripada bahasa Belanda. Dari mereka ini kemudian muncul dialek bahasa Belanda yang khas: Indisch Nederlands, dan sejenis bahasa kreol yang dikenal sebagai bahasa Pecok. Pada masa ini pula sejumlah hamba tempatan yang dibebaskan dan kemudian memeluk agama Kristen lambat-laun ikut terserap dalam masyarakat Eropah-Indonesia.

Masa keemasan: Hindia Belanda (1800-1942)[sunting | sunting sumber]

jmpl|230px|Keluarga campuran Belanda (ayah) dan Indo (ibu) sudah banyak terbentuk sejak kehadiran VOC, dan menguat pada abad ke-19 dan ke-20.

Perubahan besar yang terjadi di Eropah pada awal abad ke-19 (terutamanya semasa meletusnya Perang Napoleon) dan diberlakukannya Cultuurstelsel oleh Gubernur Jenderal van den Bosch membuat orang Eropah-Indonesia mulai menyebar ke berbagai tempat di Nusantara, terutama di Jawa dan sebahagian Sumatera, terutama untuk mengurus perkebunan-perkebunan. Banyak pendatang, sebahagian besar berasal dari Belanda ditambah beberapa orang Jerman dan British. Untuk pengaturan ketertiban hukum, pemisahan ke dalam tiga kelompok, Europeanen (orang Eropah), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), dan Inlanders (pribumi) diberlakukan semenjak 1854 (Regeringsreglement, "Undang-undang Administrasi Hindia") yang mempertegas pemisahan orang Eropah-Indonesia dari komponen masyarakat Indonesia lainnya. Ironisnya, walaupun undang-undang ini memasukkan kaum Eurasia ke dalam kelompok orang Eropah, tetapi mempertegas pula segregasi di dalam kalangan Europeanen, dan secara tidak langsung merugikan kalangan campuran. Ini terjadi kerana mulai berdatangannya orang-orang dari Eropah (terutama Belanda) untuk berusaha. Akibatnya, kalangan "totok" (orang Eropah-Indonesia yang bukan campuran) mulai meningkat proporsinya dibandingkan kalangan campuran. Orang keturunan campuran (pada masa inilah istilah "Indo", kependekan dari Indo-Europeanen, mulai dipakai) seringkali dianggap lebih rendah oleh orang Eropah totok meskipun mereka dapat memiliki hak, keistimewaan, dan kewajiban yang sama apabila ayahnya 'mengakui'nya sebagai orang Eropah.[12] Sesuai aturan yang berlaku masa itu pula, Europeanen tidak dapat memiliki lahan secara pribadi, tetapi dapat menyewa dari orang pribumi. Di sisi lain, kaum Indo menurut aturan dibayar per jamnya lebih rendah daripada orang totok dan trekkers kerana memiliki latar belakang pendidikan yang lebih rendah. Hal ini memunculkan ketidakpuasan di kalangan Indo.

Gerakan liberalisme membuat banyak orang Eropah-Indonesia mulai berasosiasi menurut ideologi, dan pada abad ke-20 menjadi pembangkit gerakan nasionalisme di Hindia Belanda. Secara politis, orang Eropah-Indonesia pada awal abad ke-20 terpecah menjadi dua kelompok: mereka yang tetap ingin mempertahankan hubungan penuh dengan Belanda (kolonial) dan mereka yang memiliki aspirasi otonomi. Sejumlah orang Eropah dan Indo jelas-jelas mendukung Boedi Oetomo, pertubuhan pergerakan bercorak nasionalis pertama. Orang-orang Indo mahupun "totok" pun mulai terkonsolidasi. Pada tahun 1912 dibentuk Indische Partij (IP) oleh E.F.E. Douwes Dekker dengan dukungan banyak orang Eropah dengan tujuan kemerdekaan penuh bagi Hindia Belanda. Pertubuhan radikal ini dibungkam setahun kemudian oleh pemerintahan Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg kerana dianggap membahayakan koloni. Kalangan orang Indo mayoritas yang pro-Belanda kemudian mendirikan pula pertubuhan untuk menandingi radikalisme IP, yaitu Indo-Europees Verbond (IEV) pada tahun 1919 oleh Karel Zaalberg. IEV sangat didukung oleh pemerintah koloni dan segera menjadi fraksi dominan dalam Volksraad yang sudah berdiri pada tahun 1916.

Pada tahun 1930 diketahui terdapat 246,000 orang Eropah-Indonesia (Europeanen), termasuk Indo. Jumlah ini mencakup sekitar 0,4% dari total 60,7 juta penduduk Hindia Belanda. Dari jumlah itu, 87% berkewarganegaraan Belanda. Seperempat dari warganegara Belanda ini lahir di Belanda.[13]

Masa suram: Pendudukan Jepun dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1939-1950)[sunting | sunting sumber]

Sejak masa ini mulai terjadi emigrasi besar-besaran orang Eropah-Indonesia ke luar Indonesia.

Pada Perang Dunia Kedua, orang Indo mengalami masa yang suram, baik yang tinggal di Eropah maupun Asia. Di Eropah, Jerman Nazi menduduki banyak negara dan memusuhi mereka yang bukan "Arya" asli (Eropah asli). Di Asia, pada perang Pasifik, tentara Jepun memperlakukan penduduk jajahannya dengan kejam, apalagi terhadap orang-orang dari Eropah (termasuk Indo). Banyak di antara mereka yang dapat melarikan diri, pergi ke negara-negara seperti Amerika Syarikat, United Kingdom (salah satu negara Eropah yang tidak diduduki tentara Nazi), Australia (mengabaikan kebijakan ras- White Australia Policy), Selandia Baru dan Kanada kerana mereka dapat diterima sebagai pelarian perang.

Situasi sangat sulit dialami oleh mereka yang terkait dengan Jerman. Di tempoh awal (1939-1942) mereka ditangkapi oleh pemerintah Hindia Belanda dan diusir. Walter Spies, seorang seniman terkenal, menjadi korban pada masa ini. Situasi agak membaik tetapi tetap buruk ketika Jepun masuk. Mereka dibebaskan (kerana yang ditangkapi kemudian adalah orang-orang dari negara Sekutu, seperti Belanda, United Kingdom atau Prancis) namun menjadi sasaran salah tangkap kerana penampilan yang sama. Akibatnya banyak yang memilih keluar dari Hindia Belanda.

Pasca-kemerdekaan Indonesia dan diaspora (1945-1965)[sunting | sunting sumber]

[[Berkas:Arrivalrotterdam.jpg|jmpl|300px|Orang Indo di atas kapal "Castel Felice" tiba di Rotterdam tahun 1958, menyusul peristiwa "Sinterklas Hitam"]] Perlawanan Indonesia terhadap Belanda yang cuba menguasai Indonesia kembali menimbulkan perasaan permusuhan di kalangan pribumi Indonesia terhadap mereka yang pro-Belanda. Mereka mencurigai siapa saja yang menyerupai orang Eropah (semua orang kulit putih dianggap pro-Belanda) atau yang mendukung penjajahan kembali. Orang Indo yang kebanyakan ingin kembali ke Belanda, merasa takut dan banyak yang melarikan diri ke koloni jajahan British di Tanah Melayu dan Singapura. Pada tempoh 1945-1946, terjadi gelombang kekerasan kepada orang Indo oleh kelompok pemuda yang dikenal sebagai tempoh Bersiap. Diperkirakan sekitar 20,000 orang Indo tewas dalam kejadian ini, dan menurut beberapa sejarawan, dapat dikatakan sebagai genosida.[14] Setelah 1949, Belanda membuka gelombang "repatriasi" warga Eropah-Indonesia ke Belanda. Pengakuan kedaulatan Indonesia pada akhir tahun 1949 memicu peningkatan jumlah repatriat. Tidak mudah bagi banyak orang Eropah-Indonesia untuk hidup di Belanda kerana terjadi penolakan oleh sebagai warga Belanda yang merasa tersaingi dalam pencarian lapangan pekerjaan. Akibatnya banyak dari mereka yang kemudian kembali beremigrasi ke negara ketiga, seperti Amerika Syarikat, Australia, Selandia Baru, atau Kanada.

Antara tahun 1945 dan 1965 diperkirakan terdapat 300,000 orang Belanda, Indo, ataupun orang Indonesia yang memilih pergi/kembali ke Belanda. Migrasi ini terjadi secara bergelombang. Banyak di antara mereka belum pernah ke Belanda sama sekali.

Penghijrahan beramai-ramai ini berlaku secaralima tahap:

  • Tahap pertama, 1945-1950: setelah penyerahan Jepun, sekitar 100,000 orang tawanan dibebaskan Jepun dan dipulangkan ke Belanda, meskipun sejumlah orang memilih bertahan di Indonesia dan mengalami masa sulit selama Perang Kemerdekaan.
  • Tahap kedua, 1950-1957: Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, sejumlah tentara dan pegawai pemerintahan Belanda dipulangkan, setelah diminta memilih. Di antara mereka banyak orang-orang bekas KNIL: 4000 orang Maluku dan juga tentara Belanda asal Afrika. Jumlah total tidak diketahui. Proses ini menyulut terjadinya Pemberontakan Republik Maluku Selatan
  • Tahap ketiga, 1957-1958: Setelah "Nieuw-Guinea-kwestie", sekitar 20,000 orang dipulangkan dari Papua ke Belanda.
  • Tahap keempat, 1962: setelah Belanda diharuskan meninggalkan Papua dan Papua diserahkan kepada UNTEA, sekitar 14,000 personal Belanda dipulangkan. Pada masa UNTEA pula terjadi emigrasi sekitar 500 orang Papua ke Belanda.
  • Tahap kelima, 1957-1964: Setelah Indonesia memberlakukan undang-undang kewarganegaraan (UU 62/1958), yang memaksa orang-orang Eropah-Indonesia harus memilih kewarganegaraan. Jika ingin menetap mereka harus melalui proses naturalisasi dan jika ingin tetap sebagai orang Belanda (Europeens) mereka harus meninggalkan Indonesia. Pada masa ini juga banyak terjadi emigrasi dari orang-orang keturunan asing yang tidak ingin menjadi warga negara Indonesia.

Kiprah budaya kaum Indo sebelum diaspora[sunting | sunting sumber]

jmpl|300px|Di akhir abad ke-19 orang Eropah dan Indo banyak menyerap unsur budaya lokal dan melahirkan budaya Indisch, sebagai hibrida antara budaya Eropah (Belanda) dan berbagai budaya lokal Indonesia. Kebaya dengan potongan khas dan warna putih sering dikenakan oleh perempuan Eropah. Corak batik juga memiliki kekhasan motif tersendiri. Foto diambil 1888, koleksi Tropenmuseum Amsterdam. Kaum Indo memiliki ciri-ciri budaya percampuran dari kebudayaan Barat (Eropah) dan kebudayaan Timur (Indonesia atau Tionghoa). Percampuran budaya ini sedikit banyak berkaitan dengan derajat "ketercampuran" rasial masing-masing individu dan latar belakang etnis keluarga mereka. Hal ini membuat kelompok ini sukar didefinisikan, bahkan oleh anggotanya sendiri, sehingga mereka sulit menyatukan diri sebagai satu kekuatan politik. Situasi ini menjadi bencana bagi mereka ketika terjadi Perang Pasifik dan masa-masa awal Revolusi Kemerdekaan Indonesia.

Kaum Eurasia (Mesties) mendominasi penampilan fisik kelompok etnik ini. Sensus penduduk tahun 1930 menunjukkan bahawa sekitar 75% golongan Europeanen memiliki garis keturunan campuran. Sisanya adalah orang Eropah totok ("murni") serta orang kelompok etnik lain yang dianggap layak sebagai anggota golongan legal ini.[13] Kerumitan latar belakang rasial ini membentuk suatu rentang fenotipe (penampilan luar) yang luas, meskipun tidak semua anggota golongan orang Eropah mengidentifikasi diri sebagai etnik Indo, terutama dari kalangan trekkers (ekspatriat). Muncul kemudian berbagai istilah untuk menyebutkan derajat kepekatan warna kulit, seperti koffie met melk ("kopi susu"), kwart over zes (pukul enam kurang seperempat), half zeven ("pukul setengah tujuh"), bijna zeven uur ("hampir pukul tujuh"), hingga zo zwart als mijn schoen ("segelap warna sepatuku") yang paling "kelam"[15]. Dikenal pula di masyarakat julukan yang berkesan merendahkan, seperti "sinyo" atau "noni" diberikan kepada anak-anak Indo. Oleh masyarakat pribumi julukan ini diperluas bagi sebutan semua anak-anak golongan kulit putih.

Di kalangan Indo telah umum diketahui, semakin tinggi "derajat keeropaan" seseorang, semakin tinggi derajat sosialnya. Maka tidak mengherankan bahawa sebahagian besar berusaha mengidentifikasi diri sebagai orang Eropah. Kaum perempuannya bercita-cita untuk menikah dengan orang Eropah.[16] Aspek budaya lokal dianggap lebih "rendah" atau "kasar"[16]. Stratifikasi sosial bernuansa rasis ini sedikit banyak muncul dari asal usul orang Indo, yang kebanyakan adalah keturunan dari kebiasaan pergundikan meluas di kalangan pria Eropah pada abad ke-17 dan ke-18 akibat kurangnya perempuan Eropah. Orang-orang Mestizo dianggap sebagai "keturunan hubungan gelap". Kebanyakan mereka dibesarkan oleh ibu mereka dalam tradisi lokal, sehingga pendidikannya dianggap kurang, juga dalam kemampuan berbahasa Belandanya. VOC, sebagai penguasa, tampaknya juga tidak terlalu peduli dengan situasi ini. Namun justru masuknya unsur budaya lokal yang menjadi pembeda mereka dan orang Belanda pendatang, bahkan masih dipertahankan hingga akhir abad ke-20.

Kaum Indo digunakan oleh penjajahan Belanda sebagai "penyangga" kultural agar tidak terjadi pergesekan yang menyebabkan kekacauan politik. Nasib yang sama dialami oleh kaum Tionghoa-Indonesia, yang menjadi "bemper" ekonomi jajahan. Mereka dipandang rendah oleh kaum Belanda totok, tetapi juga memandang rendah kalangan pribumi yang dianggap tidak cakap dan malas. Orang Belanda totok memiliki ejekan bagi orang Indo: kata "Indo" dianggap sebagai singkatan dari indolent (pemalas)[16]. Orang Eropah totok secara sosial dan legal berposisi lebih tinggi daripada mereka yang berketurunan campuran. Walaupun pada beberapa hal mereka berbaur kerana orientasi budaya yang sama, dalam banyak hal lainnya (seperti makanan dan kecenderungan estetik) kedua kelompok ini cukup berbeda. Hal ini terlihat nyata ketika terjadi diaspora orang Eropah-Indonesia ke Belanda seusai Perang Dunia Kedua. Orang Belanda banyak yang tidak siap menerima kehadiran orang-orang Indo sehingga sebahagian dari mereka beremigrasi ke negara ketiga, seperti Amerika Syarikat, Kanada, Australia, atau Selandia Baru.[17]

Garis politik sebahagian besar kalangan Eropah-Indonesia masa penjajahan cenderung pada status quo: mereka menghendaki kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Hal ini dilatarbelakangi oleh kecenderungan sosial seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, ada sebahagian kecil yang menghendaki pemerintahan sendiri. Kelompok terakhir inilah yang menjadi salah satu inti pergerakan kemerdekaan Indonesia. Indische Bond (1899) dan Insulinde dapat dianggap mewakili kelompok yang pro-pemerintahan sendiri (tidak di bawah Belanda). Sementara itu, Indo-Europeesch Verbond (IEV, 1919) dapat dianggap sebagai pertubuhan kaum Indo yang berorientasi ke Belanda.[18] Partai Hindia (Indische Partij, 1911) dapat dianggap sebagai artikulasi politik paling radikal mereka pada awal abad ke-20, kerana pertubuhan inilah yang pertama kali terang-terangan menyatakan ide pro-independen (pemerintahan sendiri untuk Indiers). Sayang sekali bahawa pertubuhan ini kurang mendapat banyak dukungan dan berumur pendek kerana segera dibungkam pemerintah kolonial.

Hubungan yang intens dengan budaya lokal banyak membawa pengaruh kultural dalam kehidupan masyarakat Eropah-Indonesia, dan sebaliknya. Van der Veur (1968) membahas banyak kebiasaan (customs) kalangan Indo[15]. Ciri khas yang utama adalah hubungan kekeluargaan yang kuat. Orang Indo gemar berburu, juga berlatih pencak silat (terutama dari kalangan yang akrab dengan masyarakat lokal) dan bermain layang-layang laga.

Kebanyakan dari mereka adalah penganut agama Kristen, namun mempercayai pula berbagai takhyul lokal dan juga mempraktikkan selamatan/kenduri untuk memperingati suatu tahapan kehidupan. Kalangan Indo pauper (mereka yang hidup dengan kalangan pribumi) bahkan mengenal guna-guna.

Bahasa yang digunakan oleh kalangan Indo pada masa VOC adalah bahasa pijin Portugis yang bercampur dengan bahasa Melayu Pasar. Hal ini diketahui dari suatu catatan seminari dari paruh kedua abad ke-18. Masuknya imigran dan pekerja perkebunan dari Belanda pada abad ke-19 mendorong menguatnya pemakaian bahasa Belanda, namun terjadi banyak "pelanggaran" gramatika oleh mereka, seperti pengalihan fonem, pencampuran dengan kata-kata atau struktur bahasa Melayu, dan pengabaian gender kata. Meningkatnya kesadaran politik akan etnik ini bahkan mendorong tokoh Indo, Ploegman, untuk menjadikan bahasa Belanda varian Indisch ini sebagai bahasa "yang menyatukan berbagai kelompok masyarakat dalam kehidupan budaya sehari-hari".

Dalam dunia sastra, beberapa karya tulis bermutu dihasilkan oleh penulis-penulis seperti C.F. Winter, van der Tuuk, Ernest Douwes Dekker, Ucee (S.H. Coldenhoff), Louis Couperus, Hans van de Wall, dan E. du Perron. Dari tempoh setelah Perang Dunia Kedua muncul nama-nama seperti J. Boon (Vincent Mahieu/Tjalie Robinson), Rob Nieuwenhuys, dan Gertrudes Johannes Resink (puisi).

Di bidang seni lukis Jan Toorop adalah nama yang paling menonjol. Pelukis-pelukis Indo adalah pendukung aliran lukisan Mooi Indië/Indonesië yang menggambarkan romantisme alam dan kehidupan sehari-hari Indonesia. Walter Spies (walaupun ia adalah totok namun amat menyukai budaya Bali) dikenal sebagai pengembang aliran lukisan dekoratif Bali yang khas.

Orang Indo dikenal berbakat di bidang seni musik dan seni pertunjukan. Dalam seni musik orientasi ke musik barat cukup kental, bahkan boleh dikatakan kalangan Indo kelas menengah dan bawah adalah duta musik barat bagi masyarakat non-Eropah di Hindia Belanda/Indonesia. Bentuk musik keroncong, berakar dari musik Portugis, dilestarikan oleh kaum Indo dan memperoleh gaung yang kuat di seluruh lapisan masyarakat di awal abad ke-20 melalui pertunjukan sandiwara komedi stambul. Komedi stambul diperkenalkan oleh August Mahieu, seorang Indo yang menghimpun beberapa orang Indo lainnya untuk menyelenggarakan teater hibrida: bergaya Eropah tetapi dengan kostum a la Timur Tengah. Pertunjukan ini populer di semua kalangan masyarakat (bawah) Hindia Belanda, dan melahirkan berbagai epigon yang juga kemudian populer. Kalangan Indo juga kemudian yang memperkenalkan musik jazz di Hindia Belanda. Jack Lesmana (Jack Lemmers), seorang Indo yang menjadi tokoh utama jazz Indonesia, telah mengenal bentuk musik ini sejak masa kecilnya. Pada masa popularitas rock'n roll, orang-orang Indo juga menjadi motornya. Kebijakan anti-Barat Sukarno membuat musik ini berhenti berkembang di Indonesia, tetapi tetap berkembang di Eropah, seiring dengan diaspora kaum Indo. The Tielman Brothers adalah grup musik yang paling menonjol dari kalangan Indo dan sangat populer di Eropah.

Dari segi boga, seni masak Eropah di tangan kaum Indo menjadi kaya rempah-rempah dan memiliki cita rasa yang khas. Orang Indo sangat menyukai masakan lokal, bahkan menikmati rujak[16]. Rijsttafel, suatu bentuk penyajian masakan khas Indisch, dikembangkan dari bentuk penyajian dalam upacara selamatan. Kue-kue khas juga muncul, seperti klappertart, kue lapis legit, dan bika ambon, selain juga kue bolu. Perkembangan seni boga ini berkaitan pula dengan kegemaran orang Indo untuk berpesta.

Dari sisi busana, muncul pada abad ke-19 kebaya yang khas dipakai perempuan Eropah; bahkan kemudian muncul batik Belanda, batik dengan motif-motif pengaruh Eropah[19]. Kebaya Belanda ini mengalami kebangkitan semula pada masyarakat Indonesia moden.

Orang Indo masa kini[sunting | sunting sumber]

Semenjak Orde Baru, orang Eropah-Indonesia di Indonesia hanya merupakan bahagian yang sangat kecil dari penduduk Indonesia. Peraturan imigrasi yang ketat, praktis tidak memungkinkan masuknya orang Eropah ke Indonesia tanpa melalui naturalisasi yang memakan waktu bertahun-tahun. Secara kultural mereka biasanya terserap ke dalam budaya kosmopolitan Jakarta, atau budaya lokal tempat mereka tinggal. Mereka dapat dikatakan bukan merupakan subkultur yang khas di Indonesia.

Keadaan yang agak berbeda terjadi di Belanda. Badan statistik Belanda, CBS, pada tahun 1990 mencatat 472,600 orang penduduk Belanda memiliki keturunan Indonesia, 187.700 di antaranya lahir di Hindia Belanda/Indonesia. Menurut laporan demografi tahun 2003, pada tahun 2001 tercatat 458,000 orang yang merupakan generasi pertama dan kedua keturunan Hindia Belanda. Di Belanda mereka merupakan kelompok minoritas yang signifikan dan memiliki kekhasan budaya tersendiri. Secara statistik mereka masih dipisahkan dan dianggap sebagai kelompok minoritas terbesar, sekaligus sebagai kelompok minoritas yang paling terintegrasi.[20] Festival tahunan Pasar Malam Besar merupakan kegiatan besar dari masyarakat Eropah-Indonesia di Belanda. Krancher, seorang warga negara AS keturunan Eropah-Indonesia yang pernah menetap di Indonesia mencatat secara kritis adanya "kebangkitan kembali" pada generasi ketiga keturunan kaum Indo di Belanda.[21]

Keturunan Eropah-Indonesia juga tersebar di seluruh dunia, baik langsung dari Indonesia atau pun dari Belanda. Banyak di antara mereka tinggal di Amerika Syarikat, Kanada, atau United Kingdom. Beberapa di antaranya menjadi orang yang cukup terkemuka.

Masa depan[sunting | sunting sumber]

Banyak kalangan memperkirakan bahawa Eropah-Indonesia sebagai etnik dengan ciri-ciri khas tersendiri akan menghilang, bahkan dari kalangan mereka sendiri. Penyebab yang paling jelas adalah kerana tidak ada lagi dorongan untuk menjaga warisan gaya hidup mereka. Kalangan muda pada umumnya cenderung menyerap budaya barat, yang memang sejak awal menjadi orientasi mayoritas orang Indo[17]. Di Indonesia, budaya Indo memudar kerana kalangan generasi muda telah menjadi bahagian utuh dari masyarakat moden Indonesia bahkan dapat dikatakan sedikit banyak turut membentuk budaya khas Indonesia. Tokoh kemerdekaan Indonesia, Sutan Sjahrir, pernah menyinggung nasib orang Indo di Indonesia pascakemerdekaan:

"...posisi kaum Indo ... dalam masyarakat kolonial kita ini telah berubah. Seiring berjalannya waktu, kaum Indo secara perlahan-lahan menjadi orang Indonesia, atau dapat pula dikatakan bahawa orang Indonesia secara bertahap mencapai taraf yang sama dengan orang Indo. Perubahan yang terjadi dalam proses transformasi di dalam masyarakat kita ini pertama-tama menempatkan kaum Indo dalam posisi yang menguntungkan, dan sekarang proses yang sama mengambil keuntungan itu. Bahkan jika mereka mempertahankan status keeropaan mereka berdasarkan hukum, mereka tetap akan sejajar dengan orang Indonesia, kerana semakin lama akan lebih banyak orang Indonesia yang terdidik daripada orang Indo. Posisi yang menguntungkan mereka kehilangan landasan sosialnya, dan sebagai hasilnya posisi itu akan lenyap." (Sutan Sjahrir, 1937)[22]

Tokoh-tokoh[sunting | sunting sumber]

Tokoh-tokoh dari kalangan masyarakat ini cukup banyak jumlahnya, baik di Indonesia, Belanda, mahupun di luar negara seperti Amerika Syarikat.

Di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Di Belanda[sunting | sunting sumber]

Di negara-negara lain[sunting | sunting sumber]

Berikut adalah beberapa tokoh asing selain dari Belanda yang memiliki keturunan Eropah-Indonesia.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Nota: Bilangan rasmi CBS tidak termasuk Totok, bukan nombor bilangan NIDI (jumlah 561,000 orang, termasuk Totok, pendatang Indo dan orang Maluku Selatan.) dibuat untuk penghitungan pamapasan wang "Gesture". 2001. Untuk formula dan definisi rasmi lengkap, lihat: Van Nimwegen, Nico De demografische geschiedenis van Indische Nederlanders, Report no.64 (Publisher: NIDI, The Hague, 2002) P.82 ISSN 0922-7210 ISBN 978-90-70990-92-3 OCLC 55220176 [1] Diarkibkan 2011-07-23 di Wayback Machine
  2. ^ Greenbaum-Kasson, Elisabeth The long way home. LA Times Article, dated Feb 2011. Online transcript
  3. ^ Cote, Joost and Westerbeek, Loes, ‘Recalling the Indies: Colonial Culture and Postcolonial Identities‘, (Askant Academic Publishers, 2005). ISBN 90-5260-119-4 Googlebooks
  4. ^ Taylor, Jean Gelman. The Social World of Batavia: European and Eurasian in Dutch Asia (Madison: The University of Wisconsin Press, 1983). ISBN 978-0-300-09709-2
  5. ^ Steijlen, Fridus Indisch en Moluks religieus leven in na-oorlogs Nederland. (Publisher: Stichting Tong Tong, Indische School, The Hague, 2009) [2][3]
  6. ^ Dutch Colonialism, Migration and Cultural Heritage. KITLV Press. 2008. m/s. 104;115.
  7. ^ J. Errington, Linguistics in a Colonial World: A Story of Language, 2008, Wiley-Blackwell, p. 138
  8. ^ van Imhoff, E; Beets, G (2004). "A demographic history of the Indo-Dutch population, 1930–2001". Journal of Population Research. Springer. 21 (1): 47, 49. doi:10.1007/bf03032210. Dicapai pada 3 November 2013.
  9. ^ The Colonial Review. Department of Education in Tropical Areas, University of London, Institute of Education. 1941. m/s. 72. Indo's or people of Dutch descent who stayed in the new republic Indonesia after it gained independence or emigrated to Indonesia after 1949 are called Dutch-Indonesians. Although the majority of the Indos are found in the lowest strata of European society, they do not represent a solid social or economic group."
  10. ^ a b Vlekke BHM 2008. Nusantara: Sejarah Indonesia. KP Gramedia Jakarta. Bab 9. Ralat petik: Tag <ref> tidak sah, nama "Vlekke" digunakan secara berulang dengan kandungan yang berbeza
  11. ^ Osborne M 2004. Southeast Asia: An Introductory History. Allen & Unwin Australia. hal 53
  12. ^ van der Veur, PW 2006. The lion and the gadfly. Dutch colonialism and thes spirit of E.F.E. Douwes Dekker. KITLV Press. Leiden. Penulis buku ini pun adalah seorang Indo yang bermukim di Amerika Syarikat.
  13. ^ a b Centraal Bureau voor de Statistiek 2003. Bevolkingstrends. Statistisch kwartaalblad over de demografie van Nederland. Jaargang 51 – 1e kwartaal 2003. Heerlen/Voorburg. Nederland. hal. 58
  14. ^ Frederick, William H. "The killing of Dutch and Eurasians in Indonesia's national revolution (1945–49): a ‘brief genocide’reconsidered." Journal of Genocide Research 14.3-4 (2012): 359-380.
  15. ^ a b van der Veur, PW. 1968. Cultural aspect of The Eurasian Community in Indonesian Colonial Society. Indonesia 6:38-53.
  16. ^ a b c d Veur, P. van der. 1969. Race and Color in Colonial Society: Biographical Sketches by a Eurasian Woman concerning Pre-World War II Indonesia. Indonesia 8:69-79.
  17. ^ a b Krancher J 2003. "Indos: The Last Eurasian Community?" Diarkibkan 2021-06-10 di Wayback Machine. EurasianNation.
  18. ^ Wiseman, R. 2000. "Assimilation Out: Europeans, Indo-Europeans and Indonesians seen through Sugar from the 1880s to the 1950s" Diarkibkan 2007-08-30 di Wayback Machine. Paper presented to the ASAA 2000 Conference, University of Melbourne, July 3-5, 2000.
  19. ^ Back To Batik Diarkibkan 2010-08-04 di Wayback Machine. An article in aboutbatik.com
  20. ^ Indische Nederlander voorbeeld integratie[pautan mati kekal]. NICIS Institute, edisi 20-04-2006.
  21. ^ Boot, Brederode and Krancher, 2006. The Rise of a New Generation: The Dutch-Indonesian Cultural Renaissance in the Netherlands. Diarkibkan 2008-11-20 di Wayback Machine Laman COERT Diarkibkan 2007-08-23 di Wayback Machine. Worldwide Family History.
  22. ^ "Panel paper ASAA conference by Dr Roger Wiseman, University of Adelaide". Diarkibkan daripada yang asal pada 2007-08-30. Dicapai pada 2019-12-04.

Jika anda melihat rencana yang menggunakan templat {{tunas}} ini, gantikanlah ia dengan templat tunas yang lebih spesifik.