Peradong, Simpang Teritip

Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.
Peradong
Desa
Peta Indonesia.
Peta Indonesia.
Bendera Peradong
Mohor rasmi Peradong
Cogan kata: "Bhinneka Tunggal Ika"  (Bahasa Jawa Kuno)
"Bersatu dalam kepelbagaian"

Ideologi: Pancasila
Lagu: Indonesia Raya
Fail:Indonesiaraya.ogg
CountryIndonesia Indonesia
Wilayah/Provinsi
Bendera Bangka Belitung
Bendera Bangka Belitung
Bendera Bangka Belitung
KabupatenFail:Lambang Bangka Barat.png Bangka Barat
Kecamatan (Daerah)Simpang Teritip
DesaPeradong
Pentadbiran
 • JenisRepublik
 • PresidenJoko Widodo
 • Naib PresidenMa'ruf Amin
Penduduk
 ()
 • Celik huruf
( lelaki perempuan)
 • Pecahan menurut jantina
% lelaki dan  % perempuan
Zon waktuGMT
 • Musim panas (DST)GMT
Poskod
33366

Peradong merupakan sebuah desa yang terletak dalam (daerah) kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung, Indonesia.

Peradong merupakan salah satu desa yang berada di wilayah adminstratif Kecamatan Simpang Teritip Kabupaten Bangka Barat Provinsi Kepaulauan Bangka Belitung. Nama Peradong sendiri berdasarkan informasi yang telah ditelusuri, diketahui dan dikenal secara menyeluruh di zaman penjajahan Belanda. Hal ini didasarkan pada karya Letnan dua L (Ullman) seorang ahli topografi bangsa Belanda yang diterbitkan di Batavia tahun 1856, sebagaimana dikutip dari tulisan Elvian (2014: 1), nama Peradong dengan penulisan 'Prandoeng'. Nama Peradong sendiri, dalam beberapa catatan asing dan dalam peta yang dibuat oleh asing ada beberapa macam penulisan, yakni Prandoeng (1852-1855), Pradong (1855), Peradoeng (1916), dan Pradoeng (1945).

Peradong sendiri, secara legenda menurut masyarakat setempat dinamakan demikian karena dahulunya banyak pohon peradong. Seperti diceritakan oleh Kek Jemat seorang tetua adat Desa Peradong (dikenal sebagai dukun kampung) dalam Suryan (2010: 21), bahwa "sewaktu penduduk tersebut mulai melakukan penggarapan tempat mukim, banyak kayu-kayu (pohon) besar yang harus ditebang". Kayu tersebut dikenal penduduk dengan sebutan kayeow Peradong yang besarnya sampai tige pelok (tiga pelukan orang dewasa).

Untuk menebang kayu tersebut menurut tetua adat harus menggunakan/memberikan sesajen (sesembahan), berupa bubur puteh mirah (Bubur yang warnanya harus putih dan merah, biasanya terbuat dari beras dicampur dengan santan kelapa), ditambah dengan pulot item (Pulot/pulut (Jawa) adalah makanan yang terbuat dari beras ketan/pulut yang dimasak menggunakan santan kelapa sebagai airnya, untuk memasaknya seperti halnya memasak nasi biasa), dan telok ayem butet (telur ayam yang tunggal). Ada juga yang menyebutkan penamaan Peradong tersebut diambil dari nama sungai yang ada di daerah tersebut

Islam di Peradong

yang menyebutkan penamaan Peradong tersebut diambil dari nama sungai yang ada di daerah tersebut.

Membicarakan Peradong tidaklah semenarik cerita daerah lainnya di Bangka, seperti halnya Lom dan Mapur, Kota Kapur, Mentok, dan lainnya. Peradong hanyalah bagian kecil dari Bangka, yang mungkin belum banyak diketahui masyarakat Bangka khususnya, dan Indonesia umumnya. Peradong yang merupakan bagian dari Pulau Bangka, tidak terlepas dari proses islamisasi masyarakat Bangka. Pulau Bangka sendiri merupakan jalur penting, yang menghubungkan Malaka, Sumatera, dan Jawa.

Sebagai jalur penting, tentu banyak penjelajah dan pedagang yang melewatinya, termasuk Arab dan Cina. Berdasarkan bukti arkeologi dan sumber berita Arab dan Cina, dapat diperkirakan sejak abad ke-9 Islam telah hadir di Pulau Bangka. Akan tetapi perkembangan pada masa-masa selanjutnya, sumber sejarah maupun arkeologi seolah 'bungkam', meminjam kata Purwati (2016: 41), sehingga proses perkembangan Islam di daerah ini belum dapat diketahui runtutannya.

Penyebaran Islam di Peradong jika melihat tulisan Deqy (2014: 227), yang menyebutkan ada lima periode islamisasi, menurut asumsi penulis masuk pada periode kelima, yakni pada akhir abad 16-19. Hal ini dimungkinkan pada akhir abad 16-19 islamisasi di tanah Bangka telah bervariasi. Ini disebabkan karena Islam datang dibawa oleh ulama dari berbagai daerah, termasuk Johor, Minangkabau, Banten, Palembang, dan Banjar.

Asumsi ini diawali ketika datangnya tokoh yang bernama Nahkoda Sulaiman dan Qori Batusangkar ke Mentok pada periode yang sama dengan Raja Harimau Garang, yang kemudian bersama anak dan cucunya mendirikan masjid di kota pelabuhan tersebut (Abdullah et al dalam Zulkfili, 2007: 12). Kemudian berlanjut di masa kekuasaan Kesultanan Palembang, yakni Sultan Mahmud Badaruddin Jayawikrama yang menunjuk Datuk Dalam (Abdul Jabar) sebagai wakil sultan menjadi kepala di atas sekalian tanah Bangka dan perkara urusan agama (syari'at Nabi SAW).

Dan Datuk Akup (Encek Wan Akup) dijadikan sebagai kepala di atas segala-gala pekerjaan membuat parit di tanah Bangka. Setelah Datuk Dalam meninggal, maka jabatan hakim diserahkan kepad Wan Akup yang lebih dikenal dengan nama Datok Rangga Setia Agama sebagai kepala pemerintahan dan hakim di tanah Bangka yang berkedudukan di Mentok (Wieringa, 1990:87).

Ketika masa Sultan Ahmad Najamuddin (1758-1766), beliau mengangkat Abang Pahang dengan gelar Tumenggung Dita Menggala yang juga tetap berkedudukan di Mentok. Perubahan dari Rangga menjadi Tumenggung merupakan penyesuaian dengan sistem pemerintahan yang berlaku di Kesultanan Palembang kala itu.

Pada masa Kesultanan Palembang ini, belum bisa dipastikan Islam masuk ke Peradong, tetapi mengingat jarak antara Mentok dan Peradong yang tidak terlalu jauh, maka besar kemungkinan masyarakat Peradong telah ada yang menganut agama Islam. Hal ini dapat dimungkinkan dengan datangnya mereka ke Mentok.

Selanjutnya Mentok kedatangan ulama dari Banjar, yang pindah dan bermukim di sana karena disebabkan kehadiran Belanda di Banjar tersebut. Ulama tersebut adalah Haji Muhammad Afif keturunan ketiga dari Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812). Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Haji Muhammad Afif hanya di sekitaran wilayah Mentok saja. Kemudian penyebaran Islam dilanjutnya oleh anaknya yang bernama Syaikh Abdurahman Siddik. Pada masa ulama Banjar inilah kemungkinan yang paling besar Islam masuk ke Peradong.

Jika melihat alur perjalanan dari Mentok ke Belinyu, berdasarkan peta J.W. Stemfoort 's-Gravenhage tahun 1885, maka perjalanan tersebut pasti melewati Peradong. Peta ini dijadikan rujukan karena tergolong lebih muda dari yang sebelumnya, seperti peta Thomas Horsfiel (1848) dan lainnya. Artinya Peradong bisa jadi merupakan salahsatu tempat persinggahan bagi ulama-ulama yang membawa dan menyebarkan Islam di tanah Bangka yang melalui jalur Mentok -- Belinyu. Ini juga menjadi asumsi penulis tentang sebab keberadaan manuskrip yang ada di Peradong tersebut.

Jejak Islam di Peradong

a.Manuskrip

Data naskah-naskah manuskrip yang ada di Peradong baru terdeteksi oleh penulis berjumlah 5 buah yang didapatkan informasi dari masyarakat setempat. Kelima manuskrip tersebut tertulis menggunakan tulisan arab melayu (arab jawi) bercampur dengan arab asli. Manuskrip tersebut disimpan oleh masyarakat setempat yang sebagian telah meninggal dunia, kemudian diwariskan kepada keluarganya.

Salahsatunya koleksi yang dimiliki oleh Alm Atok Buter (biasa dikenal masyarakat dengan panggilan Atok Bok, nama aslinya Mohamad Alimun) berjumlah 4 buah yang kini disimpan oleh keluarganya.

Kondisi manuskrip tersebut sebagian besar masih utuh, meskipun ada beberapa bagian halaman depan dan beberapa bagian halaman akhir kondisinya hampir tidak bisa terbaca lagi dan rusak karena kertas telah rapuh dan ada satu buah manuskrip yang tidak utuh lagi.

Beberapa manuskrip yang ada di Peradong (dok pribadi)

Untuk warna tulisan, manuskrip tersebut menggunakan warna merah lebih banyak untuk tulisan arab asli tanpa tanda baca (arab gundul), meskipun ada juga untuk tulisan arab melayu (arab jawi). Sedangkan untuk warna hitam untuk tulisan arab melayu saja. Tinta yang digunakan dalam penulisan tersebut adalah tinta cina atau tinta dawai.

b.Makam Haji Sulaiman

Haji Sulaiman nama lainnya yang dikenal masyarakat yang sudah sepuh dulu adalah Batin Rimbun, atau dengan sebutan lokal yang paling dikenal adalah Tok Aji Sulaiman. Makam ini terletak di ujung Dusun Menggarau dekat dengan Sungai Pelangas yang membatasi antara Dusun Menggarau dan Dusun Peradong. Sungai tersebut alirannya sampai ke laut Mesirah Desa Peradong. Jika dari Dusun Menggarau ke lokasi makam + 300 meter dan bila dari Dusun Peradong berjarak + 700 meter. Jarak tempuh ke lokasi dari Simpang Tertip + 4,5 kilometer.

Makam ini tidak ada tulisan atau inskrip sebagai informasi. Nisan dalam makan tersebut adalah dari batu yang berbentuk sedikit bulat. Batu tersebut diduga diambil dari batu sungai yang memang tidak jauh dari lokasi makam tersebut, ada juga masyarakat menyebutkan dari baru karang laut. Nisan ini tidak ada hiasan atau ukiran tertentu (masih alami).

Haji Sulaiman berdasarkan catatan/salinan Akek Arpa'i tahun 1980, nama aslinya Rimbun. Ia adalah seorang keturunan China asli dengan marga Chao, ayahnya bernama Chao Tungit (Chau Tungit) kemudian masuk Islam disebut Muhallaf dan ibunya bernama Jinah (Rimah) keturunan dari Akek Peradong.

Setelah ayahnya meninggal, ibunya kawin dengan Batin Daik di kampong Ibul, cukup dewasa anak tirinya itu (Rimbun), disalinkan jadi Batin yang bernama Rimbun dari kampong Ibul pindak kePeradong jadi Batin di Peradong. Kemudian ia beristrikan penduduk setempat dan memberikan keturunan sebanyak 8 orang, 7 orang perempuan dan 1 orang laki-laki. Waktu itu nama residen Jur Sekap yang tukang rintis jalan Tuan Seri Mahajir di tanah Bangka.

Batin Rimbun dari Peradong berguru ke Mentok kepada Datok Hasanudin (Syaikh Hasanudin dari Palembang mengajar ke Mentok), serta disahkan menjadi guru di kampung-kampung, serta disahkan mendirikan Jum'at (mendirikan Shalat Jum'at) dari kampung Pal Enam (Air Belo) sampai kampung Tanjung Niur (Tempilang).

Setelah menunaikan ibadah haji di kota Makkah al-Mukarromah dan menetap (mukim) selama kurang lebi satu tahun, ia kembali ke Peradong. Yang bernama Batin Rimbun setelah pulang dari Mekkah dirubah namanya menjadi Haji Sulaiman (Haji Batin Sulaiman). Di desa Peradong, tepatnya di Pekal Bawah.

Ia mulai menyebarkan ilmunya yang diperoleh dari tanah suci Makkah tersebutDi antara muridnya yang menjadi guru dan penugasan wilayahnya adalah Djidin kampung Ibul, Teret kampung Ibul, Djidan kampung Teritip, Aman kampung Peradong, Lipung kampung Pangek, Rinda (perempuan) kampung Peradong, Samah kampung Mayang, Wahab kampung Mayang, Dirun kampung Berang sampai naik haji, Ketak kampung Pelangas, dan Amat kampung Kacung. Kemudian turunan dari muridnya yang masih menjalankan tradisi tulis-menulis jawi (arab melayu), yakni wilayah sekitar Peradong adalah Kek Pi'i, Kek Klares, Kek Yasir, Kek Durahim (masyarakat asli di kecamatan Simpang Teritip), dan lainnya.

c.Makam Akek Peradong

Makan Akek Peradong (Kek Adong/Kek Dong sebutan lainnya) berada di pemakaman Dusun Peradong, tepatnya di belakang Masjid Baitul Mukminin. Tidak banyak yang tau akan cerita tentang Akek Peradong ini.

Makam beliau-pun tidak ada yang spesial, dan bahkan tidak akan diketahui jika tidak ditunjukkan oleh orang di sana. Menurut Mang Suden, beliau ini bukan orang Bangka, beliau berasal dari Bugis. Penyematan nama Akek Peradong ini karena di sana ada Sungai Peradong (dalam masyarakat lebih dikenal dengan Pekal Peradong), yang kebetulan juga searah dengan makam tersebut.

Versi mistis, seperti yang disampaikan oleh Mang Keman tetua adat Tempilang, menyebutkan bahwa dahulu ada 7 orang sakti yang ada di Bangka (bukan orang Bangka) yang menghilangkan identitas aslinya. Di antara mereka ada yang berasal dari pulau jawa. Akek Peradong sendiri menurut beliau adalah seorang Pangeran dari Kerajaan Singosari, namun tidak diketahui namanya.

Makam Akek Peradong (dokpri)

Makam ini dahulu disusun dengan batu karang kecil sebagai penanda petakan makam tersebut. Untuk nisan sendiri juga adalah batu karang juga dengan ukuran yang sedikit lebih besar dibandingkan batu penada. Namun sekarang batu penanda telah diganti dengan batu bata.

Menurut Mang Suden, dahulu masyarakat di sana, termasuk beliau, sempat ingin merenovasi makam tersebut, tetapi entah bagaimana akhirnya tidak terlaksana. Padahal menurut beliau, sendirian saja mampu untuk merenovasinya. Secara sosial, ini untuk menjaga makam tersebut agar tidak dikenal dan dijadikan tempat untuk hal-hal yang berbau syirik.

d.Makam Akek Pelimbang

Makam ini terletak di ujung Dusun Menggarau, sama halnya dengan lokasi makam Haji Sulaiman, tetapi sedikit lebih mengarah ke arah sungai. Makam ini bergabung dengan kavling pemakaman anak keturunan Haji Sulaiman dengan posisi paling depan mengarah ke pinggir jalan. Makam ini tidak ada tulisan atau inskripsi sebagai informasi, namun jika dilihat dari ciri dan bahan nisan ini merupakan batu nisan Sumatra (Palembang atau Aceh).

Penilaian ini didapat setelah penulis memberikan foto makam tersebut kepada Said Deqy untuk diamati. Menurut beliau, jenis batu nisan ini adalah batu granit pasca tersier, batu ini tidak diolah atau diukir di Bangka, ciri ini banyak di makam Tangga Seribu Mentok. Nisan ini tipe B (botol), bukan cungkup dan tidak ada inskripsi. Biasanya nisan tipe seperti ini dipakai untuk para alim ulama' abad 17-18.

Makam Kek Pelimbang (dokpri)

Selain itu, penulis juga berkoordinasi dan konsultasi dengan Tim Balai Arkeologi UIN Raden Fattah Palembang, Ibu Retno Purwanti terkait jenis nisan makam tersebut. Beliau menyimpulkan jenis nisan makam tersebut adalah jenis nisan Aceh setelah beliau melihat dan mengkaji foto yang penulis kirimkan kepada beliau melalui e-mail dan whatsapps (WA kontak).

Selain penjelasan ini tidak ada informasi lain, tokoh masyarakat yang sudah sepuh di kampung tersebut juga tidak ada yang bisa menjelaskan tentang riwayat Akek Pelimbang tersebut, hanya saja menurut Mang Suden berdasarkan sepengetahuan dia dari cerita-ceirta orang tua dahulu nama beliau adalah Jalaludin.

e.Setana

Setana merupakan komplek makam yang terdiri dari 6 makam dalam satu bangunan yang telah di bikin oleh masyarakat, dan ada tiga makam yang berada di luar bangunan tersebut, yakni bagian samping kanan bangunan ada dua makam dan bagian samping kiri bangunan ada satu makam. Orang ada dalam makam ini menurut sepengetahuan Mang Suden bukan orang kampung Peradong atau masyarakat sekitar, melain dari berbagai daerah, seperti; Kayu Agung - Palembang, Pulau jawa, dan Malaysia. Tidak ada riwayat atau cerita yang dapat dijelaskan mengenai orang berada dimakam tersebut.

Setana (komplek makam yang berjumlah 6 dalam bangunan dan 3 di luar bangunan (Dokpri)

f.Masjid

Terdapat dua masjid/surau yang ada di Peradong, pertama Masjid Baitul Mukminin yang terletak di dusun Peradong, didirikan sekitar tahun 1875. Dahulu tulisan angka tahun ini tertulis di tembok pagar masjid sebelum dilakukan perehaban.

Setelah direhab tulisan tersebut tidak ada lagi. Kedua Masjid Al 'Amal terletak di dusun Menggarau ini tergolong lebih muda dibandingkan masjid yang ada di dusun Peradong. Masjid ini dirikan oleh Mohamad Alimun (dikenal dengan Atok Bok) sekitar tahun 1980-an. Ini berdasarkan perkiraan dari Rahman, yang waktu itu ikut membantu dalam pembangunan masjid (dahulu surau), ketika usia beliau + 20an tahun.

Belum diketahui secara pasti tokoh pendiri masjid Baitul Mu'minin tersebut, namun berdasarkan informasi di lapangan bahwa masjid/surau tersebut telah ada sejak masa Haji Sulaiman masih hidup, bahkan menurut informasi beliaulah yang mendirikannya.

Masjid Baitul Mukmin Desa Peradong yang didirikan pada tahun 1875, oleh Haji Sulaiman

Masjid Al 'Amal Dusun Menggarau yang didirikan oleh Muhammad Alimun (Atok Bok/Buter) pada tahun 1980-an

g.Kopiah

Kopiah ini disebut sebagai kopiah Haji Sulaiman, dan ini merupakan perangkat yang selalu melekat pada beliau. Tidak banyak penjelasan mengenai kopiah ini, akan tetapi jika dilihat dengan seksama, kopiah ini terbuat dari bahan alam yang telah dianyam. Bagian anyaman dari bahan alam tersebut sebagai bagain dalam, kemudian bagian atas di letakkan anyaman seperti dari bahan lalalangan, terakhir dililitkan dengan sorban.

Kopiah Haji Sulaiman, yang dikenal sebagai tokoh agama dan penyebar Islam di daerah tersebut (dok pribadi)

h.Bedug

Bedug adalah sebagai alat yang digunakan untuk memanggil atau memberitahukan waktu shalat lima waktu. Pemukulan bedug selalu diakhiri dengan pukulan setelah jeda sejenak sesuai dengan jumlah raka'at dalam shalat tersebut. Bahan bedug ini terbuat dari kayu yang telah dibelah-belah dan disusunkan membentuk seperti lingkaran dengan rongga lobang di kiri dan kanan.

Bedug tua yang ada di Masjid Baitul Mukminin Dusun Peradong

Salahsatu rongga lobang tersebut ditutupi dengan kulit dari binatang, bagian inilah yang dipukul. Tidak ada penjelasan terperinci tentang bedug ini, hanya berdasarkan informasi dari masyarakat yang membuat bedug tersebut adalah Haji Sulaiman.

Jejak Kampung Cina di Peradong

Orang-orang Tionghoa atau lebih dikenal dengan orang Cina pada mulanya datang ke pulau Bangka untuk melakukan penambangan timah. Mereka didatangkan pada waktu itu oleh Sultan Mahmud Badaruddin I (SMB I). Hal ini disebabkan karena orang-orang Cina tersebut dikenal pandai dalam teknik penambangan paritnya.

Sebagaimana dikutip dari Jerry, 2018: 251 dalam tulisannya "Pecinan Mentok", bahwa SMB I kala itu tertarik dengan orang-orang Cina tentang pertambangan karena terinspirasi dari teknik tambang parit yang mereka terapkan di Johor. Oleh sebab itu ia memberanikan diri dan merasa yakin akan keahlian mereka.

Kedatangan kuli-kuli Cina ke Pulau Bangka pada awalnya masuk di daerah utara dan barat, yakni Mentok dan Belinyu. Sejak saat itulah orang-orang Cina tersebut mulai tinggal di pulau Bangka, kemudian mereka mulai membangun perkampungan.

Kampung-kampung perkumpulan mereka ini kemudian disebut dengan pecinan (kampung Tionghoa/Cina). Kampung mereka ini tersebar hampir di seluruh Pulau Bangka, seperti Kampung Lumut di Belinyu, Kampung Tayu di Parittiga, Kampung Ranggam di Mentok, dan lain sebagainya.

Di Peradong, juga terdapat kampung Cina, tepatnya di dusun Menggarau, Peradong Kecamatan Simpang Teritip Kabupaten Bangka Barat. Berdasarkan keterangan dari orangtua di sana, kampung tersebut merupakan kampung salah satu kampung Cina yang ada di Simpang Teritip.

Hal ini dapat dilihat dari jejak peninggalan dan bangunan Cina yang ada di kampung tersebut. Seperti halnya topikong yang ada di Simpang Teritip, tepatnya di depan kantor camat Simpang Teritip, sebelum dipindahkan dan dibangun baru ke tempat tersebut awalnya berada di dusun Menggarau Peradong.

Jejak-jejak perkampungan tersebut sebagian masih ada bekasnya, termasuk makam atau kuburannya. Menurut informasi mentah, di sana juga pernah tinggal orang yang disebut kapiten.

Ia tinggal di Cenanom masyarakat menyebutnya, ia juga termasuk orang Cina yang kaya pada saat itu. Nama tersebut menjadi sapaan di masyarakat kala itu, tanpa mengetahui nama sebenarnya. Cerita ini sekarang tidak banyak lagi diketahui oleh masyarakat, termasuk orang Cina yang masih tinggal di kampung tersebut.

Di antara jejak-jejak tersebut seperti bekas bangunan topikong yang terletak di tengah-tengah perkampung dusun Menggarau, yang saat ini sudah semak dan mulai ditumbuhi lumut.

Selanjutnya beberapa bekas bangunan rumah yang masih terdapat bekas sumur atau perigi dan bak penampungan air yang terbuat dari semen permanen. Selain itu juga terdapat beberapa kuburan atau makam yang menjadi bukti keberadaan orang-orang Cina di kampung tersebut.

Saat ini keberadaan orang-orang Cina tersebut sebagian besarnya telah bermingrasi ke pelangas, sebagian ada yang ke Pangkalpinang, Mentok, Jakarta, dan bahkan katanya ada yang bermigrasi juga ke Singapura. Sekarang yang masih tersisa hanya 4 sampai 7 kepala keluarga saja.

Menurut cerita, di sana juga dahulu pernah ada tambang yang dibuat oleh orang-orang Cina kala itu. Semoga tulisan kecil ini memberikan sedikit informasi dan dikemudian hari ada yang menelusuri lebih dalam lagi tentang keberadaan orang-orang Cina di kampung Peradong.

Poskod[sunting | sunting sumber]

Poskod yang digunakan di Peradong adalah 33366. Terdapat 11 buah desa di dalam daerah kecamatan Simpang Teritip.

Rujukan[sunting | sunting sumber]

Pautan luar[sunting | sunting sumber]