Perbincangan:Perang Jamal

Kandungan laman tidak disokong dalam bahasa lain.
Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.


Di negeri ini, pada zaman orde baru, demonstrasi belumlah menjamur seperti sekarang ini. Sejak reformasi tegak, setiap ada masalah yang menimbulkan perdebatan pastilah berakibat demonstrasi dan unjuk rasa. Baik masalah itu masalah dalam negeri ataupun masalah luar negeri. Dulu juga, kebanyakan demonstrasi yang memprotes kebijakan-kebijakan dan permasalahan dalam negeri dikomandoi oleh gerakan-gerakan mahasiswa yang kekiri-kirian. Selain itu, biasanya pengikut demonstrasi adalah laki-laki. Itu semua tak berlaku hari ini. Tidak hanya gerakan kekiri-kirian yang pandai berdemonstrasi, gerakan Islam pun sekarang ini menanggapi banyak fenomena dengan berdemonstrasi baik menanggapi masalah luar negeri maupun dalam negeri. Dan sesuatu yang baru saat ini adalah banyaknya muslimah yang berdemonstrasi khususnya di bebarapa gerakan Islam.

Aisyah radhiyallahu anha ke Bashrah dan perang Jamal Suatu amal haruslah mempunyai dasar. Begitu juga dengan aksi-aksi demonstrasi muslimah ini. Mereka mendasarkan aksi demonstrasi ini dengan kepergian Aisyah radhiyallahu anha ke perang Jamal. Imam Ath-Thabary meriwayatkan bahwa Aisyah radhiyallahu anha ketika mau pulang ke Makkah didatangi oleh Abdullah bin Ammar al-Hadhrami, amir kota Makkah, seraya berkata kepadanya, “Mengapa engkau ingin pulang, wahai Ummul Mukminin?” Beliau menjawab, “Saya mau kembali karena Utsman terbunuh secara zhalim sedangkan pemerintah tidak teguh pendirian terhadap kematiannya, yang berarti pemerintah telah menyimpang.” Maka mereka menuntut atas kematian Utsman dalam rangka meninggikan Islam. (Tarikh Rusul wal Muluk, XV, 450) Imam Ath-Thabary meriwayatkan demikian, bahwa Aisyah radhiyallahu anha tatkala sampai di Bashrah menuntut masyarakat dengan dua perkara, yang pertama menuntut qishash atas terbunuhnya Utsman, yang kedua menuntut tegaknya kitab Allah. (Tarikh Rusul wal Muluk, XV, 464) Para shahabat bersepakat atas ditegakkannya hukum qishash terhadap para pembunuh Utsman. Perbedaan pendapat mereka hanya soal waktu pelaksanaannya saja. Thalhah, Zubair, dan Aisyah radhiyallahu anha berpendapat untuk menyegerakan qishash atas mereka yang mengepung Utsman sampai beliau terbunuh dan memerangi mereka lebih awal itulebih utama. Sementara pendapat Ali beserta para pengikutnya adalah menangguhkan waktu pelaksanaan qishash sampai kokohnya pemerintahan, lalu ahli waris Utsman mengajukan tuntutan kepada Ali atas orang-orang yang telah ditentukan. Karena orang-orang yang mengepung Utsman tidak berasal dari satu kabilah, tapi dari banyak kabilah. Begitulah secuplik ilustrasi kepergian Aisyah radhiyallahu anha ke Bashrah dan ke perang Jamal. Namun, bukan kasus perang Jamal, yang akan kita kritisi kali ini. Yang akan kita bahas adalah masalah kepergian Aisyah radhiyallahu anha.

Aisyah radhiyallahu anha dan Kepergian Beliau Jika para muslimah demonstran tersebut benar-benar meneladani Aisyah radhiyallahu anha r, maka mereka pun juga harus meneladani beliau r dalam hal-hal berikut ini berkaitan kepergian beliau ke perang Jamal.

Ingin Kembali Qais bin Hazim mengisahkan bahwa tatkala Aisyah radhiyallahu anha berangkat menuju peperangan Jamal dan telah sampai di sebuah mata air milik Bani Amir pada malam hari, tiba-tiba anjing-anjing menggonggong. Aisyah radhiyallahu anha bertanya, “Mata air siapa ini?” “Mata air Hauab!” jawab mereka. Aisyah radhiyallahu anha berkata lagi, “Menurutku aku tidak punya pilihan lain kecuali harus kembali!” Orang-orang yang menyertainya berkata, “Tidak, engkau harus meneruskan perjalanan agar kaum muslimin dapat melihatmu, mudah-mudahan melalui usaha ini Allah mendamaikan kedua belah pihak yang berseteru!” Aisyah radhiyallahu anha berkata, “Sungguh, pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadaku, ‘Bagaimana nasib salah seorang dari kalian manakala anjing-anjing di mata air Hau’ab menggonggong kepadanya!’”(Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Al Hakim dan Al-Albani) Jika para muslimah demonstran tersebut meneladani Aisyah radhiyallahu anha r, maka mereka juga harus meneladani Aisyah radhiyallahu anha r dalam memahami perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam r tersebut. Dan tidak lain, Aisyah radhiyallahu anha memahami sabda Nabi tersebut sebagai celaan, sehingga beliau pun ingin kembali. Terusnya perjalanan beliau juga tidak bisa dijadikan dasar untuk aksi demonstrasi. Karena, beliau meneruskan perjalanan tersebut dengan niat mendamaikan kaum muslimin yang berseteru. Ini tentu berbeda dengan niat aksi demonstrasi kali ini: memprotes kebijakan pemerintah, membuat kecil nyali orang kafir, unjuk gigi kekuatan umat, dan sebagainya.

Menerima Nasihat Aisyah radhiyallahu anha tidaklah merasa benar dengan keluarnya beliau ke perang Jamal. Salah satu buktinya adalah beliau membenarkan sindiran dan nasihat dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam r yang lain. Ibnu Hajar berkata, “Ibnu Jarir Ath-Thabari mencantumkan riwayat bersanad shahih dari Abu Yazid Al-Madini yang berkata bahwa Ammar bin Yasir berkata kepada Aisyah radhiyallahu anha sekembalinya beliau dari Perang Jamal, ‘Betapa jauhnya perjalanan ini dari perjanjian yang telah ditetapkan bagi kalian!’ Ammar bin Yassir mengisyaratkan perjanjian tersebut kepada firman Allah, ‘Dan hendaklah kalian tetap di rumah-rumah kalian.” (Al-Ahzab: 33). Maka Aisyah radhiyallahu anha bertanya, ‘Apakah (yang berkata) itu Abul Yaqzhan (panggilan Ammar bin Yasir)?’ ‘Benar!’ jawab Ammar. Aisyah radhiyallahu anha berkata, ‘Sungguh aku mengenalmu sebagai orang yang berani menyatakan kebenaran.’ Ammar menanggapi, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan sifat itu bagiku melalui lisanmu.’ (Fathul Bari, XIII/63) Dalam riwayat lain, Ibnu Abdil Bar meriwayatkan dalam kitab Al-Isti’ab dari Ibnu Abi Atiq, yakni Abdullah bin Muhammad bin Abdirrahman bin Abi Bakr Ash-Shiddiq, ia berkata, “Asiyah berkata kepada Ibnu Umar, ‘Wahai Abu Abdirrahman (panggilan Ibnu Umar), apa yang menghalangimu untuk melarang perjalananku ini?’ Abdullah bin Umar menjawab, ‘Saya melihat seseorang telah mendominasimu!’ Yang beliau maksudkan adalah Abdullah bin Az-Zubair. Aisyah radhiyallahu anha berkata, ‘Demi Allah, seandainya engkau melarangku niscaya aku tidak akan keluar!’ (Nashbur Rayah (IV/69-70) Dalam riwayat yang pertama, Aisyah radhiyallahu anha menyebutkan bahwa Ammar bin Yasir adalah seseorang yang berani menyatakan kebenaran, berari apa yang dikatakan Ammar bin Yasir adalah benar, dan itu berlawanan dengan yang dilakukan Aisyah radhiyallahu anha. Dalam riwayat kedua, Aisyah radhiyallahu anha pun sebenarnya akan menerima nasihat untuk tidak keluar jika Ibnu Umar menasihati beliau. Tapi qadarallah, terjadilah apa yang telah terjadi.

Menyesal Imam Adz-Dzahabi berkata, “Kemudian dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Aisyah radhiyallahu anha mengurungkan keinginannya agar jenazahnya dimakamkan di kamarnya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ismail bin Abi Khalid meriwayatkan dari Qeis, ia bercerita bahwa tatkala Aisyah radhiyallahu anha menyampaikan keinginannya agar jenazahnya dimakamkan di kamarnya, ia berkata, ‘Sesungguhnnya aku telah melakukan satu kesalahan sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Oleh sebab itu, kuburkanlah aku bersama dengan istri-istri beliau yang lain.’” Maka Aisyah radhiyallahu anha pun dikuburkan di pekuburan Baqi. Imam Adz-Dzahabi berkata, “Kesalahan yang dimaksud Aisyah radhiyallahu anha adalah keikutsertaannya dalam perang Jamal! Aisyah radhiyallahu anha sangat menyesal dengan penyesalan yang amat dalam dan bertaubat atas kesalahan tersebut. Bahwasanya ia melakukannya karena takwil dan hanya mengharap kebaikan sebagaimana ijtihad Thalhah bin Abdullah, Az-Zubair bin Awwam dan sahabat lainnya.”(As-Siyar (II/193) Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya Aisyah radhiyallahu anha tidak keluar untuk berperang, melainkan dengan tujuan untuk mendamaikan kaum muslimin. Dia mengira bahwa keluarnya itu akan membawa kemaslahatan bagi kaum muslimin. Namun demikian tampak olehnya setelah itu bahwa seandainya ia tidak keluar, maka hal itu lebih baik. Karena itu, jika ia teringat keluarnya ke (Bashrah) itu ia menangis hingga membasahi kerudungnya.” (Minhajus Sunnah 2:185)

Shahabat Tak Mengikuti Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Maryam Abdullah bin Ziyad Al-Asadi, ia berkata, “Tatkala Thalhah, Az-Zubair, dan Aisyah radhiyallahu anha berangkat menuju Bashrah, Ali bin Abi Thalib mengutus Ammar bin Yasir dan Al-Hasan bin Ali. Kedua utusan itu sampai di Kufah. Keduanya menaiki mimbar, Al-Hasan bin Ali duduk di tangga mimbar yang paling atas sementara Ammar bin Yasir di bawahnya. Lalu kami pun berkumpul, aku mendengar Ammar berkata, ‘Sesungguhnya Aisyah radhiyallahu anha telah berangkat menuju Bashrah! Akan tetapi, Allah telah menguji kalian, apakah kalian taat kepadaNya ataukah kepada Aisyah radhiyallahu anha!’” Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Bakrah, ia berkata, “Allah telah memberi kebaikan bagiku karena sebuah hadits yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni tatkala pecah perang Jamal yang mana hampir saja aku ikut bersama tentara Jamal dan berperang bersama mereka. Ketika sampai berita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa bangsa Persia diperintah puteri Kisra, beliau bersabda, ‘Tidak akan beruntung satu bangsa yang menyerahkan perkara mereka kepada wanita!’” Dua riwayat di atas menunjukkan bahwa sebagian sahabat pun memandang tindakan Aisyah radhiyallahu anha bukan sebagai suatu kebenaran yang harus diikuti bahkan merupakan sesuatu yang menyelisihi perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tentu, apa yang dilakukan oleh ibu kaum mukminin Aisyah radhiyallahu anha merupakan ijtihad beliau, hanya beliau tidaklah berada di pihak yang benar. Tentu, keutamaan Aisyah radhiyallahu anha tetap tinggi dan sangat tinggi dibandingkan kita pada hari ini. Juga, kedudukan beliau sangatlah tinggi dibandingkan para muslimah demonstran saat ini. Jadi, keluarnya Aisyah radhiyallahu anha ke perang Jamal bukanlah suatu tindakan yang benar, beliau pun menyadari hal itu sehingga beliau bertaubat darinya. Karena itu, istidlal (pengambilan dalil) para muslimah demonstran terhadap tindakan Aisyah radhiyallahu anha otomatis tidak bisa dibenarkan. Kalaulah para muslimah demonstran tetap bersikeras bahwa mereka meneladani Aisyah radhiyallahu anha, maka mereka pun harus merasa bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah sebagaimana Aisyah radhiyallahu anha mengetahui bahwa yang beliau lakukan adalah suatu kesalahan. Kemudian, mereka juga harus menerima nasihat untuk tidak keluar ke jalan sebagaimana Aisyah radhiyallahu anha menerima nasihat tersebut dari sahabat yang lain. Juga, mereka harus menangis penuh penyesalan ketika ingat bahwa mereka pernah berdemonstrasi sebagaimana Aisyah radhiyallahu anha menangis penuh rasa sesal ketika teringat keluarnya beliau tersebut. Akhirnya, mereka harus bertaubat sebagaimana Aisyah radhiyallahu anha bertaubat dari kesalahan tersebut dan tidak mengulanginya lagi.

Jalan Kufar Sesungguhnya, demonstrasi hanyalah metode yang diimpor dari sistem kafiri demokrasi dan kaum komunis. Tidaklah demonstrasi ini bermula dalam sejarah umat Islam kecuali dilakukan oleh kaum sesat Khawarij semasa Utsman bin Affan, di mana kaum ini telah disifati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai anjing penghuni neraka. Islam menuntunkan cara tersendiri dalam menasihati pemimpin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Barang siapa yang ingin menasehati penguasa, maka janganlah melakukannya dengan terang-terangan (di muka umum) dan hendaklah ia mengambil tangan penguasa tersebut (dengan empat mata dan tersembunyi). Jika dia mau mendengar (nasehat tersebut) itulah yang dikehendaki, dan jika tidak (mau mendengar) maka penasehat tersebut telah menunaikan kewajiban atasnya.” (Hadits riwayat Ahmad, Ibnu Abi Ashim, Al-Hakim, Al-Baihaqi, shahih). Tidak ada jalan untuk membenarkan aksi demonstrasi, begitu pula (apalagi) demonstrasi yang dilakukan oleh para muslimah(*) Sumber: Fitnah Kubro, Klarifikasi Sikap serta Analisis Historis dalam Perspektif Ahli Hadits dan Imam Ath-Thabary, Prof. Dr. Muhammad Amhazun, penerjemah Dr. Daud Rasyid, M.A., LP2SI Al-Haramain.