Carita Purnawijaya

Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.

Carita Purnawijaya atau dalam bahasa Belanda Poernawidjaja’s hellevaart of de volledige verlossing[1] adalah sebuah karya sastera dalam bahasa Sunda Kuno. Hikayat ini mengenai perjalanan tokoh utama atau protagonis cerita, Purnawijaya ke neraka.

Manuskrip teks[sunting | sunting sumber]

Hikayat ini dirakamkan dalam dua manuskrip daun lontar (palem) yang ditulis dengan huruf Sunda Kuno dan sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia; manuskrip palem 413 dan 423. Kedua manuskrip daun lontar ini dianggarkan berasal dari abad ke-17 Masehi dan sekarang berada dalam keadaan lusuh.

Manuskrip 413 merupakan sebuah naskah kecil dan memiliki saiz 14 x 2 cm dan terdiri atas 39 lembar. Naskah lontara ini kemungkinan besar dahulukala merupakan sebuah azimat. Manuskrip ini lebih tua dan lebih baik keadaannya.

Sedangkan manuskrip 423 merupakan sebuah naskah daun nipah bersaiz 30 x 3,5 cm dan terdiri atas 35 lembar. Naskah nipah ini keadaannya sudah sangat lusuh. Banyak halaman yang rosak, berlubang dan berceruk. Teksnya juga banyak yang pudar atau rosak. Manuskrip ini lebih muda daripada yang sebelumnya.

Pleyte menyatakan bahwa manuskrip tertua, yaitu manuskrip 413 ditulis oleh salah seorang murid Kyai Raga. Tokoh ini adalah ketua kabuyutan atau pertapaan di mana manuskrip-manuskrip ini ditemui. Kabuyutan Kyai Raga terletak di lereng gunung Sri Manganti atau sekarang disebut dengan nama Cikuray. Gunung ini terletak di sebelah timur wilayah kebudayaan Sunda.

Isi teks[sunting | sunting sumber]

Teks ini mengisahkan tentang perjalanan Purnawijaya, sang tokoh utama, ke neraka. Purnawijaya dalam hikayat ini diajari panjang lebar oleh sang Dewa Utama mengenai akibat dari perbuatan cabul. Setelah itu sang Purnawijaya diajak untuk pergi ke neraka dan melihat bagaimana orang-orang berdosa disiksa. Lalu Purnawijaya bertanya kepada Yamadipati, kepala neraka untuk bebas mengakhiri penyiksaan ini. Maka Yamadipati berkata bahwa mereka di sini karena perbuatan buruk mereka ketika mereka hidup dan mereka akan lahir semula (reinkarnasi) pada kehidupan selanjutnya. Selain itu Purnawijaya mendapatkan pengajaran pula.

Hubungan dengan teks lain[sunting | sunting sumber]

Carita Purnawijaya ini merupakan sebuah gubahan teks Jawa Kuno yang bertajuk Kunjarakarna. Hikayat ini mengenai sang Kuñjarakarna, seorang yaksa (sejenis raksasa) yang bertapa karena ingin menebus dosanya. Cerita Sunda Kuno ini berbeza secara jelas dari hikayat Jawa Kuno ini. Di mana hikayat Jawa Kuno ini terdiri dari dua bagian dan merupakan sebuah hikayat yang bernafaskan Buddhisme, watak Buddha pada hikayat Sunda Kuno ini sudah hilang sama sekali. Lalu hikayat Sunda ini hanya terdiri dari satu bahagian saja.

Dua bahagian hikayat Kuñjarakarna ini ialah perjalanan Kuñjarakarna ke neraka. Kuñjarakarna bertapa dan mendapatkan berkah dari Wairocana atau sang Buddha untuk boleh melihat neraka. Di sana ia melihat bagaimana orang-orang berdosa disiksa. Lalu ia melihat sebuah periuk besar di mana orang-orang berdosa ini direbus. Lalu ia melihat sebuah periuk baru yang sedang disiapkan, ternyata periuk ini diperuntukkan untuk Purnawijaya. Purnawijaya adalah sahabat karib Kuñjarakarna yang akan meninggal dalam waktu beberapa hari. Kuñjarakarna terkejut dan meminta kepada sang Buddha apakah ia boleh memperingatkan kawannya. Lalau dibenarkan oleh sang Buddha, tetapi Purnawijaya tidak boleh mengelakkan hukuman. Meskipun begitu hukumannya dipendekkan, dari 100 tahun menjadi sepuluh hari. Setelah masa ini berlalu, Purnawijaya diperkenankan kembali ke bumi dan kembali ke isterinya, Kusumagandhawati. Lalu cerita berakhir dengan Kuñjarakarna dan Purnawijaya dan bersama-sama bertapa samadi di lereng gunung Semeru.

Bahawa teks Sunda Kuno ini memiliki hubungan erat dengan teks Jawa Kuno Kuñjarakarna, bukanlah satu kebetulan. Sebabnya, naskah tertua Kuñjarakarna yang memuat teks Jawa ini, dan yang sekarang disimpan di perpustkaan Universitas Leiden sebagai Naskah Leiden Or 2266 diperkirakan oleh para pakar berasal dari Jawa Barat.

Perbandingan teks Sunda Kuno-Jawa Kuno[sunting | sunting sumber]

Tidak bisa dipungkiri bahwa teks Sunda ini berdasarkan teks Jawa Kuno. Pada beberapa bahagian, teks Sunda ini sangat mirip dengan teks Jawa, bahkan pada tingkat kata-kata. Di bawah ini disajikan perbandingan antara teks Sunda dan Jawa pada sebuah adegan beserta dengan terjemahannya. Ejaan teks Jawa ini sudah disesuaikan.

Terjemahan Sunda Kuno[2] Jawa Kuno[3] Terjemahan
tan asuwé ring awan, Maka tak lama mereka berada di jalan
Maka sampai di bumi bawah tujuannya adalah sebuah daerah, yang menyala dan berbara. Hal ini sulit dipadamkan. Gerbangnya lebih dari satu depa sedangkan jalannya masing-masing setengah depa dan dilingkari oleh pemukiman. Pemukiman ini melingkari jalan. Pintunya berpanel besi dan ditutup dengan tembaga serta memiliki laci perak dan kunci emas ... manggihkeun bumi patala, si dona désa ma (?), murub muncar pakatonan, dipareuman hanteu meunang, dorana leuwih sadeupa, jalanna sadeupa sisih, jalan kakurung ku lembur, lembur kakuning ku jalan, pantona kowari beusi, dipeundeutan ku tambaga, dilorongan ku salaka, kuncina heunteung homas, ... dhateng ta ya ring bumipata<l>a, hana ta ya srijati dumilah sadakala lonya sêndriya, sêndriya ngaranya, sôlih ing mata tumingal, hana ta babahan kapanggiha denira sang Kuñjarakarna, inĕbnya tambaga, lereganya salaka, tuwin ku<ñ>cinya mas, Dan sampailah di dunia bawah. Maka adalah sebuah pohon jati yang senantiasa menyala. Tebal batangnya satu indera. Maksudnya hanya satu pemandangan mata. Lalu sang Kuñjarakarna melihat panelnya dari tembaga, lacinya dari perak, dan kuncinya dari emas.
ta<m>bak lalénya w<e>si, ikang hawan sad<e>pa saroh lonya, temboknya dari besi, jalannya selebar satu depa dan satu roh
[jalannya] diratakan dengan tahi, tahi sapi muda dikamrata ku tahina, tahi lembu kanéjaan inurap rinata-rata ginomaya ring tahining le<m>bu kanya, dibersihkan, diratakan dan dibersihkan dengan tinja sapi perawan betina
dan diberi tangga baja. ditatanggaan maléla
Ditanami dengan andong merah, katomas dan panéjaan, bunga waduri dan bunga jayanti. Selain siratu bancana yang sedang berkembang indah. Selain ditebari pula dengan bunga tabur sepanjang pohon nagasari (?) yang dijadikan harum oleh bermacam-macam wangian. Sehingga menjadi terciumlah harumnya asap dupa ditanjuran ku handong bang, katomas deung panéjaan, waduri kembang jayanti, sekar siratu bancana, eukeur meujeuh branang siang, dihauran kembang ura, dija ... kembang pupolodi, didupaan ruruhuman, dadi wangi haseup dupa, mrebuk aruhum … tinaneman ta ya handong bang, kayu puring, kayu masedhang asinang, winoran asep dupa, mrabuk arum ambunika sinawuran kembang ura, pinujan kembang pupungon, diberi tanaman andong merah, puring dan pohon-pohon yang sedang berbunga harum. Berbaurlah dengan asap dupa, harum semerbuk dan ditebar dengan bungan sebaran. Bunga-bunga yang sedang berkembang diberikan sebagai kehormatan
ya ta matanyan maruhun-ruhunan ikang watek papa kabèh winalingnya itulah sebab para orang berdosa berbondong-bondong semua. Salah pikiran mereka,
permulaan jalan ke syurga. jalan kawit i sorgaan dalan maring swarga ri hidhepnya dikira jalan menuju ke syurga.

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Tajuk penerbitan pada penerbit Pleyte tahun 1914. Tajuk ini secara harfiah bererti “Perjalanan Purnawijaya ke neraka atau bebas secara keseluruhan total”
  2. ^ Teks Sunda Kuno diambil dari Noorduyn dan Teeuw (2006:9).
  3. ^ Teks diambil dari Van der Molen (1983:148). Ejaan teks disesuaikan dengan ejaan teks bahasa Sunda Kuno.

Bibliografi[sunting | sunting sumber]

  • W. van der Molen, 1983, Javaanse tekstkritiek, Leiden:KITLV. VKI 102
  • J. Noorduyn and A. Teeuw, 2006, Three Old Sundanese poems, Leiden: KITLV. Bibliotheca Indonesia 29
  • C.M. Pleyte, 1914, 'Poernawidjaja's hellevaart, of de volledige verlossing.Vierde bijdrage tot de kennis van het oude Soenda.' Tijdschrift Bataviaasch Genootschap 56:365-441. [1]