Pergi ke kandungan

Pokok Purun Tikus

Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.

Mendong
Pengelasan saintifik
Alam:
Order:
Keluarga:
Genus:
Spesies:
F. umbellaris
Nama binomial
Fimbristylis umbellaris
Sinonim
  • Scirpus umbellaris Lam.[2]
  • Scirpus globulosus Retz.
  • Fimbristylis globulosa (Retz.) Kunth

Sinonim selengkapnya, lihat The Plant List[3]

Pokok Purun Tikus atau Pokok Mendong adalah salah satu jenis rumput yang hidup di paya rawa, termasuk anggota suku Cyperaceae. Tumbuhan ini menghasilkan bahan anyaman, sehingga ia dibudidayakan di beberapa daerah.

Nama-nama lokalnya, di antaranya:[4]

Nama sainsnya Fimbristylis umbellaris[4]

Pemerian botanis

[sunting | sunting sumber]

Herba menahunan, dengan rimpang kecil, tinggi 20-120 cm. Batang berambut panjang rapat, kaku, menyudut tumpul atau hampir bulat torak, kurang lebih memipih di bawah perbungaan, halus, berbelang, garis tengah 1-5 mm. Daun-daun acap mengecil hingga tak memiliki helaian, serupa tabung, terpangkas miring hujungnya, berupa seludang bertepi keperangan; daun pada batang yang fertil atau tumbuhan muda memipih dan beralur-alur selebar 1.5 mm. Perbungaan di pucuk, tunggal atau majmuk, dengan 1-40 spikelet, yang terbesar serupa payung, 3–10 cm panjangnya. Buah bulir memipih, menyegitiga, atau cembung di dua sisinya, berbintil halus, 0.8-1 × 0.6-0.8 mm.[5]

Agihan dan Ekologi

[sunting | sunting sumber]

Mendong menyebar luas mulai dari India, Cina, Kawasan Malesia (terpencar-pencar), hingga Mikronesia dan Polinesia. Di Indonesia didapati di semua wilayah.[5]

Ia tumbuh di daerah bencah yang terbuka termasuk paya rawa, lapangan rumput; biasanya di elevasi bawah, jarang hingga ketinggian 1.000 m dpl. Juga di sawah-sawah beririgasi, tadah hujan, sawah lebak, dan persawahan pasang-surut. Di sini rumput ini berpotensi menjadi gulma, meskipun tergolong minor.[5] Mendong tumbuh baik pada daerah dengan temperatur berkisar 25-27 derajat dan paparan cahaya yang cukup. Mendong umumnya tumbuh liar di daerah basah misalnya di sawah dengan kisaran pH tanah 4,5-8 pada daerah dataran rendah (<1000 mdpl)[6]

Berdasarkan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, mendong memiliki syarat pertumbuhan pada lahan seperti berikut:

Budidaya di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Untuk di Indonesia sendiri, Tasikmalaya dikenal sebagai salah satu penghasil mendong terbesar yang menyuplai hingga 50% kebutuhan mendong untuk wilayah Jawa Barat. Tasikmalaya merupakan sentra kerajinan tangan yang salah satunya berbahan baku mendong. Kerajinan tangan dari mendong memiliki potensi besar untuk pasar ekspor. Namun, semakin sulitnya bahan baku mendong, membuat beberapa pengrajin mendong memilih untuk gulung tikar. Selain itu, kemajuan zaman membuat kerajinan ini semakin tergusur karena dinilai kurang tahan lama dan desain yang kurang modern. Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, luas lahan dan produksi mendong di Jawa Barat mengalami penurunan sejak tahun 2013 hingga 2017 dan diprediksi akan terus menurun pada tahun-tahun berikutnya.[7] Budidaya mendong sendiri tidak mengalami kemajuan dan belum banyak penelitian dilakukan terhadap tanaman ini. Mendong secara umum mudah untuk dibudidayakan dan tidak membutuhkan perawatan khusus. Jarak tanam yang baik dilakukan yaitu 60–80 cm antar rumpun dengan 5-8 bibit per rumpun. Pemeliharaan cukup dengan pemberian pupuk kandang sewaktu menanam dan pupuk ZA setelah panen.

Batangnya dipakai untuk membuat anyaman yang berkualitas baik, lebih baik dari anyaman mensiang. Karena mutunya, pada masa lalu mendong banyak dibudidayakan di sawah-sawah atau bendang; terutama di sawah yang kurang baik hasilnya untuk padi. Daerah-daerah yang pernah membudidayakannya, antara lain di Sumbar (Batusangkar), Sulut, Sulteng, Jateng (Wonosobo, Solo), Jatim (Ngawi, Magetan, Madiun, Kediri, Blitar), Yogya (Sleman).[4] Sekarang, produksi mendong yang masih berjalan di antaranya dari Tasikmalaya (Jabar) dan Wajak (Jatim).

Mendong ditanam seperti menanam padi di sawah, tetapi dijaga agar sawahnya selalu berair. Rumpun mendong disabit setelah 6-9 bulan. Setelah diseleksi, batang-batang mendong itu dijemur, kadang-kadang digosok dan dipipihkan lebih dulu. Mendong yang berkualitas baik, setelah kering membentuk lembar-lembar selebar lk. 4 mm, pipih, lembut, dan terasa agak kenyal.[4] Lembar-lembar ini kemudian dianyam untuk membuat tikar dan aneka anyaman lain. Kini bahan anyaman mendong itu lebih lanjut diolah untuk dijadikan sandal kamar, tas, wadah berbentuk kotak atau tabung, penghias meja, almari dan dinding, dan lain-lain.

Produk utama dari mendong berupa kerajinan tangan seperti tikar, tali, tas, dan barang anyaman lainnya. Tasikmalaya menjadikan kerajinan mendong sebagai salah satu komoditas industri kreatifnya. Pemakaian mendong sebagai bahan baku kerajinan didasarkan pada sifat tanaman mendong yang kuat dan anjal sehingga dapat dibentuk dan dianyam. Untuk produk kerajinan mendong ini, belum ada standardisasi khusus yang mengatur kualitas produknya. Selain itu, mendong merupakan salah satu dari anggota famili Cyperaceae yang diketahui sebagai tanaman metal hyper-accumulator yang toleran terhadap konsentrasi metal lingkungan yang cukup tinggi sehingga dimanfaatkan sebagai Phytoremediasi. Saat ini, serat mendong sedang dikembangkan menjadi bahan baku Microcrytalline Celulose (MCC) yang digunakan sebagai filler pada obat-obatan, stabilizer pada industri makanan, dan material komposit pada industri plastik. MCC dari mendong diharapkan dapat menggantikan MCC yang berasal dari kayu sehingga mengurangi deforestrasi dan lebih ramah lingkungan.[8]

Metabolit

[sunting | sunting sumber]

Hingga saat ini, belum ada penelitian metabolomik khusus mendong karena mendong secara umum lebih dimanfaatkan biomassanya. Namun mendong telah diteliti lebih lanjut untuk dimanfaatkan serat dan selulosanya sebagai alternatif polimer dan biomaterial baru. Penelitian ini berupa pengamatan struktur mikroskopis, analisis komposisi kimia, fisik, mekanik, dan termal dari serat tanaman mendong. Serat tanaman mendong mengandung sekitar 72,14% selulosa; 20,2% hemiselulosa; 3,44% lignin; dan sisanya bahan lain dan air. Berdasarkan penelitian Suryanto H. dkk menunjukkan tanaman mendong memiliki kandungan selulosa yang tinggi, tetapi masih lebih rendah dibanding kapas dan rami. Kandungan selulosa dan zat non-selulosa mempengaruhi struktur dan kekuatan dari serat. Penelitian fisik menunjukkan kristanlinitas dan indeks kristalin pada tanaman mendong yaitu 85,8 dan 83,5%. Hal ini menunjukkan serat mendong masih memiliki material non-kristalin seperti hemiselulosa, lignin, dan pectin yang dapat mengurangi kekuatan dari serat mendong.[8]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Vahl, M. 1805. Martini Vahlii, ... Enumeratio plantarum :vel ab aliis, vel ab ipso observatarum, cum earum differentiis specificis, synonymis selectis et descriptionibus succinctis. Vol. II: 291. Hauniae : Impensis Viduae, 1805.
  2. ^ Lamarck, J.B. 1791. Tableau encyclopédique et méthodique des trois règnes de la nature. Botanique. Tome I(1): 141. A Paris :Chez Panckoucke ..., 1791-1823.
  3. ^ The Plant List: Fimbristylis umbellaris (Lam.) Vahl
  4. ^ a b c d Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I: 355-7. Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta.
  5. ^ a b c Kostermans, A.J.G.H., S. Wirjahardja, and R. J. Dekker. 1987. "The weeds: description, ecology and control": 238-9, in M. Soerjani, A.J.G.H. Kostermans, and G. Tjitrosoepomo, (eds.). Weeds of Rice in Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.
  6. ^ Dasuki, U. (2016, April 28). Fimbristylis umbellaris (PROSEA). Retrieved from Plant Use: https://uses.plantnet-project.org/en/Fimbristylis_umbellaris_(PROSEA)
  7. ^ Media, 4 Vision. "Mendong". Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat. Diarkibkan daripada yang asal pada 2019-04-10. Dicapai pada 2019-04-25. Unknown parameter |dead-url= ignored (bantuan)
  8. ^ a b Suryanto, H., Solichin, & Yanuar, U. (2016). Natural Cellulose Fiber from MendongGrass (Fimbristylis globulosa). In K. Ramawat, & M. Ahuja, Fiber Plants: Biology, Biotechnology and Applications (pp. 35-52). Switzerland: Springer.

Rujukan lain

[sunting | sunting sumber]
  • Wiersema, John H. & Blanca León. 2013. World Economic Plants: A Standard Reference, Second Edition: 307. CRC Press.

Pautan luar

[sunting | sunting sumber]