Perpustakaan Iskandariah
Perpustakaan Iskandariah | |
---|---|
Maklumat umum | |
Jenis | Perpustakaan nasional |
Ditubuhkan | Kemungkinan pada masa Ptolemaios II Filadelfos (285–246 SM)[2][3] |
Dibubarkan | 4 century |
Koleksi | |
Item terkumpul | Karya-karya tertulis mana pun[4][5] |
Saiz koleksi | Pada abad kesatu SM, antara 40.000 hingga 400.000 gulungan, bahkan ada yang memperkirakan 700.000 gulungan,[6] mungkin sama dengan sekitar 100.000 buku[7] |
Pengurusan | |
Gabungan | Mouseion |
Perangkaan | |
Kakitangan | Diperkirakan mempekerjakan 100 ahli pada puncak kejayaannya[8][9] |
Lokasi | |
Koordinat | 31°13′N 29°55′E |
Negara | Kerajaan Ptolemaik |
Lokasi | Aleksandria, Mesir |
sunting · sunting di Wikidata |
Perpustakaan Besar Iskandariah di Kota Iskandariah, Mesir merupakan salah satu perpustakaan terbesar dan terpenting pada zaman kuno. Perpustakaan ini merupakan bahagian dari sebuah lembaga penelitian yang lebih besar, Mouseion, yang dipersembahkan untuk para Musai (sembilan dewi yang melambangkan seni). Gagasan mengenai sebuah perpustakaan untuk segala bidang di Iskandariah mungkin diusulkan oleh Demetrios dari Phalerum (seorang negarawan asal Athens yang menjalani pengasingannya di Iskandariah) kepada Raja Ptolemaios I Soter pada zaman Helenistik. Rancangan untuk mendirikan perpustakaan ini mungkin sudah disusun pada masa raja tersebut, tetapi perpustakaan ini kemungkinan baru dibangun pada masa pemerintahan anaknya, iaitu Ptolemaios II Filadelfos. Berkat dukungan dari raja-raja Wangsa Ptolemaios, perpustakaan ini dengan segera memperoleh banyak sekali tatal papirus. Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah tatal papirus yang disimpan di perpustakaan ini, tetapi perkiraannya berkisar antara 40,000 hingga 400,000 tatal.
Salah satu sebab Iskandariah dianggap sebagai pusat keilmuan dan pembelajaran adalah keberadaan perpustakaan ini. Banyak cendekiawan terkenal yang bekerja di perpustakaan ini pada abad ketiga dan kedua SM, seperti Zenodotos dari Efesos yang berupaya membakukan naskah puisi-puisi Homeros, Kalimakos yang menulis Pinakes (kadang dianggap sebagai katalog perpustakaan pertama di dunia), Apolonios dari Rodos yang menyusun puisi wiracarita Argonautika, Eratostenes dari Kirene yang menghitung keliling Bumi dengan ketepatan yang hanya meleset sedikit, Aristofanes dari Bizantion yang menciptakan sistem diakritik Yunani dan adalah orang pertama yang membagi naskah-naskah puisi menjadi baris-baris, serta Aristarkos dari Samotrakia yang membuat naskah definitif puisi-puisi Homeros dan menulis ulasan-ulasan panjang untuk puisi-puisi tersebut. Pada masa pemerintahan Ptolemaios III Euergetes, sebuah cabang perpustakaan didirikan di Serapeion, yang merupakan sebuah kuil yang dipersembahkan untuk dewa Serapis dalam kepercayaan Yunani-Mesir.
Walaupun pada masa moden terdapat anggapan bahwa perpustakaan ini pernah "dibakar" dan dihancurkan, perpustakaan ini sebenarnya sudah mengalami kemunduran secara bertahap dalam kurun waktu beberapa abad. Kemunduran ini dimulai dari pengusiran pada cendekiawan dari Iskandariah pada tahun 145 SM atas perintah dari Ptolemaios VIII Fiskon, yang berujung pada keputusan Aristarkos dari Samotrakia yang menjabat sebagai kepala perpustakaan untuk mengundurkan diri dan kemudian mengasingkan diri ke Siprus. Banyak cendekiawan lain yang juga melarikan diri ke kota lain (seperti Dionysius Thrax dan Apollodoros dari Athens). Perpustakaan ini atau sebahagian dari koleksinya terbakar secara tidak sengaja oleh Yulius Maharaja selama peristiwa perang saudara pada tahun 48 SM, tetap tidak diketahui secara pasti seberapa banyak tatal yang hancur. Tampaknya perpustakaan ini masih dapat bertahan atau dibangun kembali tidak lama sesudahnya; pakar geografi kuno yang bernama Strabo menulis bahwa ia pernah mengunjungi Mouseion sekitar tahun 20 SM, sementara karya cendekiawan Didimos Kalkenteros di Iskandariah dari masa ini menunjukkan bahwa ia mungkin dapat mengakses paling tidak sebahagian dari koleksi di perpustakaan ini.
Perpustakaan ini mengalami kemerosotan pada zaman Rom akibat kekurangan dana. Ahli-ahli perpustakaan ini sepertinya sudah tidak ada lagi pada dasawarsa 260-an. Pada tahun 270 hingga 275, pencerobohan Tadmur meletus di Iskandariah, dan serangan Dimaharaja tampaknya menghancurkan sisa dari perpustakaan ini (kalaupun perpustakaan ini memang masih ada pada masa tersebut). Cabang perpustakaannya di Serapeion mungkin dapat bertahan lebih lama. Serapeion dirusak dan dihancurkan pada tahun 391 sesuai dengan maklumat Paus Teofilos dari Iskandariah, tetapi tampaknya perpustakaan ini sudah tidak menyimpan buku pada masa tersebut dan gedungnya dipakai sebagai tempat berkumpulnya para filsuf beraliran neoplatonisme yang mengikuti ajaran Iamblikos.
Latar belakang sejarah
[sunting | sunting sumber]Perpustakaan Iskandariah bukanlah perpustakaan pertama di dunia.[3][10] Perpustakaan-perpustakaan lain sudah ada di Yunani dan kawasan Timur Dekat sejak lama.[3][11] Khutubkhanah tulisan pertama yang tercatat dalam sejarah terletak di Kota Uruk di peradaban Sumeria kuno sekitar tahun 3400 SM, ketika manusia baru saja mengembangkan tulisan.[12] Pengumpulan naskah-naskah oleh para ahli dimulai sekitar tahun 2500 SM.[12] Kerajaan dan keMaharajaan kuno di kawasan Timur Dekat juga memiliki tradisi pengumpulan buku.[13][3] Bangsa Het dan Asiria memiliki arsip raksasa yang berisikan catatan-catatan dalam berbagai bahasa.[13] Perpustakaan paling terkenal di kawasan Timur Dekat pada zaman kuno adalah Perpustakaan Asyurbanipal di Niniwe yang didirikan pada abad ke-7 SM oleh Raja Asiria Asyurbanipal (berkuasa 668 hingga sekitar tahun 627 SM).[12][3] Di Babilonia, sebuah perpustakaan besar juga pernah ada pada masa Nebukadnezar II (berkuasa sekitar tahun 605 hingga 562 SM).[13] Di Yunani, penguasa Athena Peisistratos konon pernah membuka perpustakaan umum besar pertama pada abad ke-6 SM.[14] Tradisi pengumpulan buku di Yunani dan Timur Dekat inilah yang melahirkan gagasan pendirian Perpustakaan Iskandariah.[15][3]
Raja-raja Makedonia yang menggantikan Aleksander yang Agung sebagai penguasa Timur Dekat ingin mendorong penyebaran budaya Helenistik dan pembelajaran di wilayah dunia yang saat itu telah mereka ketahui.[16] Ahli sejarah Roy MacLeod menyebutnya "program imperialisme budaya".[4] Maka dari itu, para penguasa ini memiliki kepentingan dalam upaya untuk mengumpulkan dan menyusun keterangan dari Yunani maupun dari kerajaan-kerajaan kuno di Timur Dekat.[16] Keberadaan perpustakaan meningkatkan martabat suatu kota, menarik para cendekiawan, dan membantu penguasa dalam memerintah negara.[4][17] Oleh sebab itu, setiap kota Helenistik besar memiliki sebuah perpustakaan kerajaan.[4][18] Namun, Perpustakaan Iskandariah merupakan suatu hal yang baru;[4][19] tidak seperti perpustakaan-perpustakaan sebelumnya, para penguasa dari Kerajaan Ptolemaik ingin mendirikan tempat penyimpanan semua pengetahuan.[4][5]
Dukungan dari Wangsa Ptolemaios
[sunting | sunting sumber]Pendirian
[sunting | sunting sumber]Perpustakaan Iskandariah adalah salah satu perpustakaan terbesar dan terpenting pada zaman kuno, tetapi seluk-beluk mengenai perpustakaan ini bercampur-baur dengan legenda.[15] Sumber keterangan pertama mengenai pendirian perpustakaan ini adalah Surat Aristeas yang ditulis sekitar tahun 180 hingga 145 SM.[20][21][13] Menurut naskah ini, Perpustakaan Iskandariah didirikan pada masa Ptolemaios I Soter (berkuasa sekitar tahun 323 hingga 283 SM), dan awalnya perpustakaan ini diurus oleh Demetrios dari Faleron, murid Aristoteles yang diasingkan dari Athena dan mengungsi di istana Wangsa Ptolemaios di Iskandariah.[21][13] Namun, Surat Aristeas ditulis bukan pada masa pendirian perpustakaan ini dan di dalamnya juga terkandung keterangan yang ternyata keliru.[21] Sumber-sumber lain mengklaim bahwa perpustakaan ini didirikan pada masa pemerintahan anak Ptolemaios I, Ptolemaios II Filadelfos (berkuasa 283–246 SM).[3]
Para ahli moden sepakat bahwa walaupun Ptolemaios I mungkin adalah orang yang menyiapkan rancangan pendirian perpustakaan ini, kemungkinan perpustakaannya sendiri baru benar-benar dibangun pada masa pemerintahan Ptolemaios II.[21] Pada masa tersebut, Demetrios dari Faleron sudah tidak lagi didukung oleh Wangsa Ptolemaios, sehingga kemungkinan ia sama sekali tidak bersumbangsih terhadap pendirian lembaga perpustakaan ini.[2] Namun, pakar sejarah klasik Stephen V. Tracy berpendapat bahwa kemungkinan besar Demetrios pernah membantu mengumpulkan paling tidak beberapa naskah yang kemudian akan menjadi bahagian dari koleksi perpustakaan ini.[2] Pada kisaran tahun 295 SM, Demetrios mungkin sudah memperoleh naskah yang berisikan tulisan Aristoteles dan Teofrastos, dan ia memang merupakan orang yang bisa melakukannya, karena ia adalah anggota mazhab Peripatos.[22]
Perpustakaan ini dibangun di dekat istana kerajaan di kawasan Brukeion (daerah Yunani di Iskandariah yang bersebelahan dengan pesisir). Perpustakaan ini merupakan bahagian dari lembaga yang lebih besar, iaitu Mouseion.[23] Mouseion sendiri, sesuai namanya, adalah sebuah kuil yang dipersembahkan untuk para Musai.[4] Tujuan utama pendirian perpustakaan ini adalah untuk mengumpulkan semua buku yang ditulis dalam bahasa Yunani dan buku karya suku bangsa lain yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, menyunting karya-karya penyair dan dramawan Yunani Klasik dalam bentuk aslinya, serta mendirikan perpustakaan penelitian untuk para ahli dari segala bidang.[23] Namun, menurut ahli sejarah David C. Lindberg, tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan kekayaan Mesir, sementara penelitian adalah tujuan keduanya.[20] Tata letak perpustakaan ini tidak diketahui secara pasti, tetapi terdapat sebuah kebun, tempat perjamuan, ruang membaca, balai ceramah, dan ruang pertemuan di gedung Mouseion.[24] Di sebuah balai, terdapat rak-rak untuk koleksi tatal papirus, dan rak-rak ini disebut bibliothekai (βιβλιοθῆκαι). Konon di atas rak tersebut terdapat inskripsi yang bertuliskan: "Tempat penyembuhan jiwa."[25]
Perluasan
[sunting | sunting sumber]Para penguasa dari Wangsa Ptolemaios berupaya untuk meningkatkan koleksi perpustakaan melalui kebijakan pembelian buku yang agresif.[26] Mereka mengirim petugas-petugas kerajaan dengan anggaran yang besar untuk membeli dan mengumpulkan teks sebanyak yang mereka mampu, tanpa memandang subjek atau penulisnya.[26] Salinan naskah yang tua lebih dipilih daripada yang baru, karena naskah baru sudah melalui banyak proses penyalinan, sehingga naskah tua dirasa lebih menyerupai naskah aslinya.[26] Petugas-petugas kerajaan berkali-kali mengunjungi pameran buku di Rhodos dan Athena.[27] Menurut seorang penulis kedokteran Yunani yang bernama Galenos, berdasarkan maklumat Ptolemaios II, setiap buku yang ditemukan di kapal-kapal yang berlabuh akan dibawa ke perpustakaan ini untuk disalin oleh juru tulis resmi.[3][28][8][17] Naskah aslinya disimpan di perpustakaan dan salinannya diberikan kepada pemiliknya.[9][8][17] Perpustakaan ini mencurahkan perhatiannya pada upaya untuk memperoleh naskah puisi-puisi Homeros, yang merupakan landasan pendidikan Yunani dan yang paling dikagumi dari puisi-puisi lainnya.[29] Oleh karena itu, Perpustakaan Iskandariah memperoleh banyak naskah puisi Homeros; setiap salinannya diberi tanda untuk menunjukkan tempat asalnya.[29]
Selain mengumpulkan karya dari masa lalu, gedung Mouseion juga menjadi tempat berkumpulnya para cendekiawan, penyair, filsuf, dan peneliti. Menurut ahli geografi Yunani dari abad pertama SM, Strabo, mereka diberikan gaji yang besar, dan mereka juga mendapatkan makanan dan tempat tinggal gratis serta pengecualian dari pajak.[30][31] Mereka memiliki sebuah balai perjamuan yang besar dan berbentuk bundar dengan atap kubah yang tinggi.[31] Selain itu, sejumlah ruangan kelas disediakan bagi mereka untuk mengajar.[31] Ptolemaios II Filadelfos konon sangat tertarik dengan ilmu zoologi, sehingga muncul dugaan bahwa gedung Mouseion mungkin juga pernah memiliki kebun binatang untuk hewan-hewan langka.[31] Menurut pakar sejarah klasik Lionel Casson, tujuan pemberian tunjangan tersebut yakni agar para cendekiawan tidak perlu memikirkan beban kehidupan sehari-hari dan agar mereka dapat memusatkan perhatiannya pada penelitian.[26] Strabo menjuluki para cendekiawan yang tinggal di Mouseion dengan sebutan σύνοδος (synodos ), yang berarti "komunitas".[31] Setidaknya pada tahun 283 SM, jumlah mereka berkisar tiga puluh hingga lima puluh orang.[31]
Masa Zenodotos dan Apolonios
[sunting | sunting sumber]Perpustakaan Iskandariah tidak menjadikan mazhab filsafat tertentu sebagai mazhab resmi, sehingga para cendekiawan di lembaga ini memiliki kebebasan akademik.[9] Namun, mereka masih harus tunduk kepada raja.[9] Terdapat sebuah kisah yang diragukan kebenarannya mengenai seorang penyair bernama Sotades yang menulis sebuah epigram cabul yang mengolok-olok Ptolemaios II karena telah menikahi saudara perempuannya, Arsinoe II.[9] Ptolemaios II konon menjebloskannya ke penjara, dan setelah ia lolos, sang raja memerintahkan agar ia dimasukkan ke dalam sebuah guci timbal dan lalu dilempar ke laut.[9] Sebagai sebuah pusat keagamaan, Mouseion dipimpin oleh seorang imam Musai yang dikenal dengan sebutan epistates, dan imam ini diangkat oleh raja seperti para imam di kuil-kuil Mesir.[32] Perpustakaan ini sendiri dipimpin oleh seorang cendekiawan yang menjabat sebagai kepala perpustakaan sekaligus guru untuk anak lelaki raja.[31][33][34][35]
Kepala perpustakaan Iskandariah pertama yang tercatat dalam sejarah adalah Zenodotos dari Efesos (hidup sekitar tahun 325–270 SM).[34][35] Pencapaian terbesarnya adalah dalam menyusun naskah puisi-puisi Homeros dan penyair-penyair lira Yunani lainnya.[34][35] Keterangan-keterangan mengenai Zenodotos diperoleh dari ulasan-ulasan yang dibuat pada masa sesudahnya yang menyebutkan ulasan yang lebih ia sukai untuk bahagian-bahagian tertentu.[34] Zenodotos pernah menulis sebuah glosarium kata-kata yang jarang ditemui atau tidak lazim. Glosarium ini disusun secara alfabetik, sehingga ia adalah orang pertama yang diketahui menggunakan alfabet sebagai metode penyusunan.[35] Mengingat koleksi Perpustakaan Iskandariah tampaknya disusun berdasarkan huruf pertama nama penulisnya sedari awal, Casson menyimpulkan bahwa kemungkinan besar Zenodotos adalah orang yang memulai kebiasaan ini.[35] Namun, sistem yang diberlakukan oleh Zenodotos hanya menggunakan huruf pertama suatu kata,[35] dan baru pada abad ke-2 M orang mulai menggunakan metode yang sama untuk huruf-huruf lain yang tersisa dalam suatu kata.[35]
Sementara itu, seorang cendekiawan dan penyair yang bernama Kalimakos menyusun Pinakes, sebuah katalog yang terdiri dari 120 buku mengenai para penulis dan karya-karya mereka.[34][33][9] Pinakes sudah hilang ditelan zaman, tetapi penggalan-penggalannya dan penyebutan katalog ini dalam sumber-sumber lain memungkinkan para ahli untuk merekonstruksi struktur dasarnya.[36] Pinakes terbagi menjadi beberapa bahagian, masing-masing berisikan lema untuk penulis dari ragam sastra tertentu.[9][36] Pembahagian yang paling dasar dilakukan antara penulis puisi dan prosa, dan setiap bahagian terbagi menjadi beberapa subbahagian.[36] Di setiap bahagian, nama penulis disusun secara alfabetis.[37] Di setiap lema terdapat nama penulis, nama ayah, tempat lahir, dan keterangan biografi singkat lainnya, kadang-kadang juga mencakup julukan si penulis dan daftar lengkap karya penulis tersebut.[37] Lema untuk penulis-penulis tersohor seperti Aiskilos, Euripides, Sofokles, dan Teofrastos kemungkinan amatlah panjang.[37] Walaupun Kalimakos mengerjakan karyanya yang paling terkenal di Perpustakaan Iskandariah, ia tidak pernah menjabat sebagai kepala perpustakaan di lembaga tersebut.[33][9] Kalimakos sendiri memiliki beberapa murid dengan kiprahnya masing-masing, seperti Hermipos dari Smirna yang menulis biografi-biografi, Filostefanos dari Kirene yang mempelajari geografi, dan Istros (mungkin berasal dari Kirene juga) yang mempelajari barang antik Atika.[38]
[[Berkas:Archimedes-screw one-screw-threads with-ball 3D-view animated small.gif|jmpl|Menurut legenda, penemu asal Sirakusa yang bernama Archimedes pernah menciptakan sekrup Archimedes (pompa untuk mengangkut air) saat sedang belajar di Perpustakaan Iskandariah.[39]]]
Seiring berjalannya waktu, perpustakaan-perpustakaan kecil lain juga mulai bermunculan di Kota Iskandariah.[9] Setelah Zenodotos meninggal dunia atau pensiun, Ptolemaios II Filadelfos mengangkat Apolonios dari Rodos (hidup sekitar tahun 295–s. 215 SM, merupakan putra daerah Iskandariah dan murid Kalimakos) sebagai kepala perpustakaan kedua Iskandariah.[34][38][39] Filadelfos juga mengangkat Apolonios sebagai guru anaknya yang kelak akan berkuasa dengan nama Ptolemaios III Euergetes.[38] Apolonios dikenal sebagai penulis Argonautika, puisi wiracarita mengenai Iason dan para pahlawan Argonaut, dan puisi ini masih utuh hingga kini.[40][39] Argonautika menunjukkan pengetahuan Apolonios yang luas mengenai sejarah dan sastra, dan pada saat yang sama ia meniru gaya puisi-puisi Homeros.[40] Beberapa penggalan karya-karya ilmiahnya telah ditemukan, tetapi ia kini lebih dikenal sebagai seorang penyair daripada cendekiawan.[34]
Menurut legenda, pada masa kepemimpinan Apolonios, matematikawan dan penemu asal Sirakusa, Archimedes (hidup sekitar tahun 287–212 SM), datang berkunjung ke Perpustakaan Iskandariah.[39] Konon Archimedes menciptakan sekrup Archimedes setelah mengamati naik dan turunnya permukaan Sungai Nil; alat baru ini dapat digunakan untuk mengangkut air dari bawah ke parit irigasi di atas.[39] Archimedes kemudian kembali ke Sirakusa dan terus berkiprah sebagai penemu di sana.[39]
Menurut dua karya biografi yang dibuat pada masa belakangan dan tidak dapat diandalkan, Apolonios dipaksa mundur dari jabatannya sebagai kepala perpustakaan dan pindah ke Pulau Rodos akibat amarah warga Iskandariah terhadap naskah Argonautika yang pertama.[41] Kemungkinan besar Apolonios mundur akibat kenaikan takhta Ptolemaios III Euergetes pada tahun 246 SM.[40]
Masa Erastotenes
[sunting | sunting sumber]Kepala perpustakaan yang ketiga, iaitu Erastotenes dari Kirene (hidup sekitar tahun 280–194 SM), dikenal akan karya-karya ilmiahnya, tetapi ia juga merupakan seorang ahli kesusastraan.[33][42][39] Karya Erastotenes yang paling penting adalah risalahnya yang berjudul Geographika, yang awalnya terdiri dari tiga buku.[43] Karya ini sudah hilang ditelan zaman, tetapi banyak penggalan isinya yang telah ditemukan dalam tulisan-tulisan Strabo.[43] Erastotenes adalah cendekiawan pertama yang menerapkan matematika dalam bidang geografi dan pembuatan peta.[44] Dalam risalahnya yang berjudul Mengenai Pengukuran Bumi, ia menghitung keliling Bumi dan hasilnya hanya meleset sedikit dari hasil perhitungan moden.[44][39][45] Erastotenes juga membuat peta wilayah dunia yang telah diketahui keberadaannya saat itu. Peta ini menggabungkan informasi dari sumber-sumber yang disimpan di Perpustakaan Iskandariah, termasuk catatan sejarah mengenai ekspedisi militer Aleksander Agung di India dan laporan yang ditulis oleh ekspedisi pemburu gajah dari Kerajaan Ptolemaik di pesisir Afrika Timur.[45]
Erastotenes adalah orang pertama yang menjadikan geografi sebagai bidang keilmuan.[46] Erastotenes berkeyakinan bahwa latar puisi-puisi Homeros itu imajinasi belaka dan ia berpendapat bahwa tujuan dari puisi adalah untuk "menawan jiwa" dan bukan untuk menceritakan kisah nyata dalam sejarah.[43] Sementara itu, cendekiawan lain di Perpustakaan Iskandariah juga menunjukkan ketertarikan mereka terhadap bidang ilmiah.[47][48] Bakios dari Tanagra (hidup sezaman dengan Erastotenes) menyunting dan mengomentari tulisan-tulisan kedokteran dalam Corpus Hippocraticum.[47] Dokter Herofilos (hidup sekitar tahun 335–280 SM) dan Erasistratos (sekitar tahun 304–250 SM) mempelajari anatomi manusia, tetapi penelitian mereka terhalang oleh penolakan terhadap pembedahan mayat (yang dianggap sebagai tindakan tidak bermoral).[49]
Menurut Galenos, pada masa itu, Ptolemaios III meminta izin dari Athena untuk meminjam naskah asli karya Aeskilos, Sofokles, dan Euripides. Sebagai gantinya, Athena meminta lima belas talenta (450 kg) logam berharga sebagai jaminan bahwa naskah-naskah tersebut akan dikembalikan.[31][5][50] Ptolemaios III memerintahkan agar papirus dengan mutu tertinggi digunakan untuk membuat salinannya. Ia menyimpan naskah aslinya di Perpustakaan Iskandariah dan memberikan salinannya kepada Athena dengan pemberitahuan bahwa mereka boleh menyimpan logam yang telah dibayarkan sebagai jaminan.[31][5][50] Kisah ini bisa juga ditafsirkan secara keliru sebagai upaya untuk menunjukkan kekuatan Iskandariah di atas Athena. Iskandariah sendiri pada saat itu merupakan pelabuhan buatan manusia yang terletak di antara dataran utama Mesir dengan pulau yang menjadi tempat berdirinya Mercusuar Iskandariah. Pelabuhan ini didatangi kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dan menjadi pusat perdagangan. Kota ini juga menjadi produsen utama papirus dan kemudian juga buku.[51] Seiring dengan membesarnya Perpustakaan Iskandariah, sudah tidak ada lagi tempat untuk menyimpan tatal. Oleh karena itu, pada masa Ptolemaios III Euergetes, dibuka sebuah koleksi lain di Serapeion, iaitu sebuah kuil yang dipersembahkan untuk dewa Serapis di dekat istana kerajaan.[9][26][8]
Masa Aristofanes hingga Aristarkos
[sunting | sunting sumber]Aristofanes dari Bizantion (hidup sekitar tahun 257–180 SM) menjadi kepala perpustakaan keempat sekitar tahun 200 SM.[52] Menurut legenda yang dicatat oleh penulis Romawi Vitruvius, Aristofanes adalah salah satu dari tujuh juri yang diangkat untuk lomba menulis puisi yang digelar oleh Ptolemaios III Euergetes.[52][53] Enam juri lainnya mendukung salah satu peserta, tetapi Aristofanes memilih satu orang yang paling tidak disukai oleh penonton.[52][54] Aristofanes menyatakan bahwa semua peserta (kecuali satu peserta yang ia pilih) telah melakukan kecurangan dan mereka pun dikeluarkan dari lomba.[52][54] Sang raja menuntut bukti, dan Aristofanes kemudian mengambil naskah-naskah yang telah disalin oleh para penyair curang ini dari Perpustakaan Iskandariah. Aristofanes menemukannya dengan mengandalkan ingatannya.[52][54] Berkat ketekunan dan kemampuannya dalam mengingat, ia diangkat sebagai kepala perpustakaan oleh Ptolemaios III.[54]
Masa kepemimpinan Aristofanes dianggap telah membuka lembaran baru dalam sejarah Perpustakaan Iskandariah.[34][55][49] Pada masa ini, kritik sastra mencapai puncak kejayaannya[34][55] dan menjadi subjek yang mendominasi karya-karya yang dihasilkan oleh perpustakaan ini.[56] Aristofanes dari Bizantion menyunting naskah-naskah puisi dan memperkenalkan konsep pembahagian puisi menjadi baris-baris yang terpisah, sementara sebelumnya puisi ditulis seperti prosa.[57] Ia juga memperkenalkan sistem diakritik Yunani,[58][49] menulis karya-karya penting mengenai leksikografi,[34] dan memperkenalkan tanda-tanda yang digunakan untuk menulis kritik tekstual.[59] Ia menulis pembukaan untuk banyak drama, dan sebahagian masih ada dalam bentuk yang sudah ditulis ulang sebahagian.[34]
Kepala Perpustakaan Iskandariah yang kelima adalah seseorang yang tak dikenal yang bernama "Apolonios" dengan gelar Yunani: ὁ εἰδογράφος ("penggolong bentuk").[34][60] Menurut salah satu sumber leksikografi dari zaman sesudahnya, gelar ini mengacu kepada penggolongan puisi berdasarkan bentuk musiknya.[60] Pada awal abad kedua SM, beberapa cendekiawan di Perpustakaan Iskandariah mempelajari karya-karya mengenai kedokteran.[47] Zeuxis sang Empirisis dikenal akan ulasan-ulasannya tentang Corpus Hippocraticum[47] dan ia secara aktif berupaya memperoleh tulisan-tulisan kedokteran untuk melengkapi koleksi perpustakaan ini.[47] Seorang cendekiawan yang bernama Ptolemaios Epitetes menulis sebuah risalah mengenai luka-luka dalam puisi-puisi Homeros, dan subjek ini melampaui batas antara filologi tradisional dengan kedokteran.[47] Namun, pada masa ini pemerintahan Wangsa Ptolemaios juga mulai mengalami kemunduran.[61] Seusai Pertempuran Raphia pada tahun 217 SM, keadaan menjadi semakin kacau.[61] Pergolakan sering terjadi di Mesir, dan pada paruh pertama abad kedua SM, hubungan dengan wilayah Mesir Hulu sangat terganggu.[61] Para penguasa Wangsa Ptolemaios juga mulai menekankan kemesiran mereka alih-alih keyunaniannya.[61] Akibatnya, banyak cendekiawan Yunani yang mulai meninggalkan Iskandariah dan mendatangi negara yang lebih aman dengan pendukung yang juga lebih murah hati.[34][61]
Aristarkos dari Samotrakia (hidup sekitar tahun 216–145 SM) adalah kepala perpustakaan keenam.[34] Ia tidak hanya membuat naskah puisi-puisi klasik dan karya-karya prosa, tetapi juga menulis hipomnemata (ulasan) lengkap mengenai naskah-naskah tersebut.[34] Ulasan-ulasan ini biasanya mengutip dari naskah klasik, menjelaskan maknanya, mendefinisikan kata yang tidak lazim, dan mencoba menjawab apakah kata-kata di bahagian tersebut benar-benar kata yang dipakai oleh penulis aslinya atau merupakan kata yang ditambah-tambahkan oleh juru tulis.[62] Ia banyak bersumbangsih dalam berbagai bidang ilmu, tetapi sumbangsihnya yang terbesar adalah dalam kajian puisi-puisi Homeros,[34] dan pendapat-pendapatnya sering dikutip oleh penulis kuno.[34] Salah satu bahagian dari ulasan Aristarkos mengenai Historia karya Herodotos masih bertahan hingga zaman moden dalam sebuah penggalan di papirus.[34][62] Namun, pada tahun 145 SM, Aristarkos terlibat dalam perselisihan politik di Mesir. Ia mendukung Ptolemaios VII Neos Filopator sebagai penguasa Mesir.[63] Ptolemaios VII dibunuh dan digantikan oleh Ptolemaios VIII Fiskon, yang kemudian langsung ingin menghukum semua pendukung pendahulunya. Akibatnya, Aristarkos terpaksa melarikan diri dari Mesir dan mengungsi ke Pulau Siprus, dan di tempat tersebut ia menjemput ajalnya tak lama sesudahnya.[63][34] Ptolemaios VIII mengusir semua cendekiawan asing dari Iskandariah, sehingga mereka pun pindah ke berbagai wilayah di kawasan Mediterania Timur.[34][61]
Kemunduran
[sunting | sunting sumber]Setelah pengusiran oleh Ptolemaios VIII
[sunting | sunting sumber]Para cendekiawan yang pernah berkiprah di Perpustakaan Iskandariah dan murid-murid mereka masih tetap melanjutkan karya mereka dalam melakukan penelitian dan menulis risalah, tetapi sebahagian besar tidak lagi melakukannya di bawah naungan lembaga perpustakaan tersebut.[64] Para cendekiawan Iskandariah tersebar di berbagai wilayah di Mediterania Timur, tetapi belakangan ada juga yang pindah ke kawasan Mediterania Barat.[64] Murid Aristarkos yang bernama Dionisios Traks (sekitar tahun 170–90 SM) mendirikan sebuah sekolah di Pulau Rodos.[65][66] Dionisios Traks menulis buku pertama mengenai tata bahasa Yunani yang memberikan panduan menulis dan berbicara dengan jelas dan efektif.[66] Buku ini tetap menjadi buku teks utama bagi anak sekolah Yunani yang mempelajari tata bahasa hingga akhir abad kedua Masehi.[66] Orang-orang Romawi mendasarkan tulisan mengenai tata bahasa dari buku ini, dan susunan dasarnya juga menjadi landasan bagi buku-buku tata bahasa dalam berbagai bahasa hingga kini.[66] Salah satu murid Aristarkos yang lain, iaitu Apolodoros dari Athena (sekitar tahun 180–110 SM), pergi ke kota yang menjadi saingan terbesar Iskandariah, iaitu Pergamon, dan di situ ia mengajar dan melakukan penelitian.[65] Keberadaan kelompok cendekiawan Iskandariah di pengasingan ini membuat ahli sejarah Menekles dari Barke berkomentar dengan nada sarkastik bahwa Iskandariah telah menjadi guru semua orang Yunani dan barbar.[67]
Sementara itu, semenjak abad kedua SM, pemerintahan Wangsa Ptolemaios di Mesir semakin kacau.[68] Mereka harus menghadapi pergolakan sosial yang semakin menguat ditambah dengan masalah-masalah politik dan ekonomi lainnya, sehingga para penguasa tidak terlalu banyak memperhatikan Perpustakaan Iskandariah.[68] Status perpustakaan dan jabatan kepala perpustakaan juga mengalami penurunan.[68] Penguasa-penguasa Wangsa Ptolemaios pada masa ini memanfaatkan jabatan kepala perpustakaan untuk menghadiahi pendukung mereka yang paling setia.[68] Ptolemaios VIII mengangkat salah satu penjaga istananya yang bernama Kidas sebagai kepala perpustakaan,[69][68] sementara Ptolemaios IX Soter II (berkuasa 88–81 SM) dikatakan pernah memberikan jabatan ini kepada salah satu pendukungnya.[68] Pada akhirnya, martabat kepala perpustakaan merosot sampai-sampai para penulis pada zaman tersebut tidak lagi mencatat masa jabatan setiap kepala perpustakaan.[69]
Bidang keilmuan di Yunani Kuno juga mengalami perubahan besar pada permulaan abad pertama SM.[65][70] Pada masa tersebut, hampir semua naskah puisi klasik sudah distandardisasi, dan karya para pujangga dari Zaman Klasik Yunani juga sudah banyak diulas.[65] Akibatnya, tidak banyak hal baru yang dapat dibuat oleh para ahli dari naskah-naskah tersebut.[65] Banyak ahli yang mulai melakukan sintesis dan pengerjaan ulang terhadap ulasan-ulasan para cendekiawan Iskandariah dari abad-abad sebelumnya, dan ini bukanlah suatu karya yang baru.[65][70][a] Cendekiawan-cendekiawan lain mengambil jalan lain dan mulai menulis ulasan untuk puisi-puisi para penulis pascaklasik, termasuk penyair-penyair Iskandariah seperti Kalimakos dan Apolonios dari Rodos.[65] Sementara itu, tradisi kecendekiawanan Iskandariah kemungkinan dibawa ke Roma pada abad pertama SM oleh Tiranion dari Amisos (sekitar tahun 100–25 SM), salah satu murid Dionisios Traks.[65]
Terbakar akibat ulah Yulius Maharaja
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 48 SM, ketika perang saudara tengah berkecamuk di Republik Romawi, Yulius Maharaja dikepung di Iskandariah. Pasukannya membakar kapal-kapal mereka sendiri untuk menahan armada yang dimiliki oleh saudara Kleopatra, Ptolemaios XIV.[49][8] Api menjalar ke daerah perkotaan yang terletak dekat dengan dermaga dan mengakibatkan kehancuran.[69][8] Seorang filsuf dan dramawan Romawi dari abad pertama Masehi yang bernama Seneca Muda pernah mengutip sebuah pernyataan dari Ab Urbe Condita Libri karya Livius (yang ditulis antara tahun 63 hingga 14 SM), yang mengatakan bahwa kebakaran tersebut menghancurkan 40.000 tatal di Perpustakaan Iskandariah.[49][69][8][71] Tokoh platonisme Yunani yang bernama Plutarkos (sekitar tahun 46–120 M) pernah menulis dalam Kehidupan Maharaja: "[K]etika musuh berupaya memutus komunikasi lewat laut, ia terpaksa mengalihkan ancaman tersebut dengan membakar kapal-kapalnya sendiri, yang (...) kemudian menjalar dan menghancurkan perpustakaan besar."[8] Namun, ahli sejarah Romawi Kasius Dio (sekitar tahun 155–235 M) menulis bahwa ada "banyak tempat" yang terbakar, termasuk bangunan-bangunan lain seperti "galangan kapal dan tempat penyimpanan gandum dan buku, yang dikatakan berjumlah besar dan merupakan yang terbaik."[72][69][8] Namun, Florus dan Lukanus menulis bahwa yang terbakar adalah armada itu sendiri dan "rumah-rumah di dekat laut".[73]
Kutipan dari Kasius Dio telah menimbulkan penafsiran bahwa kebakarannya tidak menghancurkan seluruh perpustakaan, tetapi hanya tempat penyimpanan yang terletak di dekat dermaga yang dipakai oleh perpustakaan tersebut untuk menyimpan tatal.[72][69][8][74] Terlepas dari perdebatan ini, Perpustakaan Besar Iskandariah tidak hangus dilalap api.[72][69][8][74] Strabo menulis bahwa ia pernah mengunjungi Mouseion sekitar tahun 20 SM, beberapa dasawarsa setelah kebakaran yang dipicu oleh pasukan Yulius Maharaja, dan hal ini menyiratkan bahwa perpustakaan ini selamat dari bencana kebakaran atau dibangun lagi tak lama sesudahnya.[72][8] Walaupun begitu, cara Strabo dalam menjelaskan Mouseion menunjukkan bahwa lembaga ini sudah tidak semasyhur sebelumnya.[8] Strabo sendiri memang membicarakan Mouseion, tetapi ia tidak menyebut soal perpustakaan ini secara terpisah, sehingga terdapat kemungkinan bahwa perpustakaan ini benar-benar sudah merosot statusnya pada masa itu.[8] Nasib Mouseion setelah kunjungan Strabo tidak diketahui secara pasti.[49]
Selain itu, Plutarkos mencatat dalam Kehidupan Markus Antonius bahwa pada tahun-tahun menjelang Pertempuran Aktion pada tahun 33 SM, Mark Antonious konon telah menyerahkan semua tatal di Perpustakaan Pergamon yang berjumlah 200.000 kepada Kleopatra.[72][69] Plutarkos sendiri memberikan catatan bahwa sumber pernyataan ini kadang-kadang tidak dapat diandalkan, dan terdapat kemungkinan bahwa kisah ini hanyalah sebuah propaganda yang dimaksud untuk menunjukkan bahwa Markus Antonius setia kepada Kleopatra dan Mesir dan bukan kepada Roma.[72] Namun, menurut pendapat Casson, kalaupun kisah ini memang bualan belaka, kisah tersebut tidak akan dikarang kecuali jika Perpustakaan Besar Iskandariah memang masih ada.[72] Sementara itu, Edward J. Watts berpendapat bahwa hadiah dari Markus Antonius mungkin dimaksudkan untuk mengisi kembali koleksi perpustakaan.[69]
Bukti lain yang menunjukkan bahwa perpustakaan ini masih ada setelah tahun 48 SM berasal dari fakta bahwa penulis ulasan yang paling penting pada akhir abad pertama SM dan awal abad pertama Masehi adalah seorang cendekiawan di Iskandariah yang bernama Didimos Kalkenteros, dan gelarnya sendiri (Chalkénteros atau Χαλκέντερος) berarti "perut perunggu".[75][72] Didimos konon telah membuat sekitar 3.500 hingga 4.000 buku, sehingga ia adalah penulis paling produktif pada zaman kuno.[75][70] Ia juga diberi julukan βιβλιολάθης (Biblioláthēs ), yang berarti "pelupa buku", karena konon ia tidak dapat mengingat semua buku yang pernah ia tulis.[75][76] Sebahagian dari ulasan-ulasan Didimos tersimpan dalam bentuk kutipan-kutipan, dan sumber-sumber inilah yang diandalkan oleh para ahli moden untuk mengetahui karya-karya penting para cendekiawan di Perpustakaan Iskandariah.[75] Lionel Casson menyatakan bahwa karya Didimos yang luar biasa tidak mungkin dibuat jika ia tidak dapat mengakses naskah-naskah di perpustakaan ini.[72]
Zaman Romawi dan kehancuran
[sunting | sunting sumber]Sangat sedikit keterangan yang ada mengenai Perpustakaan Iskandariah pada zaman Principatus Romawi (27 SM–284 M).[69] Maharaja Klaudius (berkuasa 41–54 M) tercatat pernah memperluas Perpustakaan Iskandariah,[77] tetapi tampaknya nasib perpustakaan ini bergantung pada nasib Kota Iskandariah.[78] Setelah Iskandariah jatuh ke tangan Romawi, status kota ini beserta perpustakaannya mengalami penurunan.[78] Walaupun Mouseion masih tetap berdiri, orang yang ingin menjadi anggota tidak harus berasal dari kalangan cendekiawan, tetapi malah dipilih berdasarkan pencapaian dalam pemerintahan, militer, atau bahkan olahraga.[68]
Jabatan kepala perpustakaan juga mengalami nasib serupa;[68] satu-satunya kepala perpustakaan yang tercatat dalam sejarah pada masa Romawi adalah Tiberius Klaudius Balbilus yang hidup pada pertengahan abad pertama Masehi dan berprofesi sebagai politikus dan perwira militer tanpa ada pencapaian sebagai seorang cendekiawan.[68] Anggota Mouseion tidak lagi harus mengajar, meneliti, atau bahkan tinggal di Iskandariah.[79] Penulis Yunani Filostratos mencatat bahwa Maharaja Hadrianus (berkuasa 117–138 M) mengangkat pakar etnografi Dionisios dari Miletos dan filsuf beraliran sofisme Polemon dari Laodikea sebagai anggota Mouseion walaupun kedua orang ini tampaknya tidak pernah menghabiskan banyak waktu di Kota Iskandariah.[79]
Sementara itu, seiring dengan meredupnya reputasi Iskandariah sebagai pusat ilmu, reputasi perpustakaan-perpustakaan lain di wilayah Mediterania meningkat.[78] Perpustakaan-perpustakaan lain juga bermunculan di dalam Kota Iskandariah,[69] dan tatal-tatal dari Perpustakaan Besar digunakan untuk mengisi perpustakaan-perpustakaan yang lebih kecil ini.[69] Kaesareum dan Klaudianum di Iskandariah dikenal memiliki perpustakaan besar pada akhir abad pertama Masehi.[69] Serapeion yang awalnya hanya menjadi "cabang" juga membesar pada masa ini (menurut pakar sejarah klasik Edward J. Watts).[80]
Pada abad kedua Masehi, ketergantungan Romawi terhadap gandum dari Iskandariah juga berkurang.[78] Ketertarikan bangsa Romawi terhadap tradisi kecendekiawanan di Iskandariah juga tidak sebesar sebelumnya.[78] Para cendekiawan yang bekerja dan melakukan penelitian di Perpustakaan Iskandariah pada masa Romawi tidak seterkenal para cendekiawan dari zaman Wangsa Ptolemaios.[78] Pada akhirnya, kata "Iskandariah" menjadi sinonim dengan penyuntingan naskah, pembetulan kesalahan tekstual, dan penulisan ulasan yang merupakan penggabungan cendekiawan-cendekiawan lainnya; dalam kata lain, istilah ini mendapatkan konotasi berupa sifat suka menonjolkan keilmuan, kemonotonan, dan ketiadaan orisinalitas.[78] Perpustakaan Besar Iskandariah dan gedung Mouseion tidak lagi disebutkan pada pertengahan abad ketiga Masehi.[81] Sumber sejarah terakhir yang menyebutkan cendekiawan yang menjadi anggota Mouseion berasal dari dasawarsa 260-an.[81]
Pada tahun 272 M, Maharaja Aurelianus dan pasukannya berupaya merebut kembali Kota Iskandariah dari pasukan Ratu Tadmur, Zenobia.[81][68][3] Pada saat terjadinya pertempuran, pasukan Aurelianus menghancurkan daerah Broucheion.[81][68][3] Apabila Mouseion dan Perpustakaan Besar Iskandariah memang masih ada pada masa itu, keduanya hampir pasti hancur.[81][68] Kalaupun masih ada yang tersisa, lembaga atau bangunan tersebut akan binasa akibat pengepungan Kota Iskandariah oleh pasukan Maharaja Diokletianus pada tahun 297.[81]
Sumber Arab mengenai pencerobohan umat Islam
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 642 M, Iskandariah telah ditawan oleh tentera Islam Amr ibn al-As. Beberapa sumber Arab kemudiannya menerangkan kemusnahan perpustakaan atas perintah Khalifah Omar.[82][83] Bar-Hebraeus, menulis pada abad ketiga belas, memetik Omar sebagai berkata kepada Yaḥyā al-Naḥwī: "Jika buku-buku itu sesuai dengan Quran, kita tidak memerlukannya; dan jika ini bertentangan dengan Quran, hancurkan mereka."[84] Sarjana kemudian—bermula dengan ucapan Bapa Eusèbe Renaudot pada tahun 1713 dalam terjemahan History of the Patriarchs of Alexandria bahawa kisah itu "mempunyai sesuatu yang tidak boleh dipercayai tentangnya"—skeptikal terhadap kisah-kisah ini, memandangkan julat masa yang telah diluluskan sebelum mereka ditulis dan motivasi politik pelbagai penulis.[85][86][87][88] Menurut Diana Delia, "Penolakan Omar terhadap kebijaksanaan pagan dan Kristian mungkin telah direka dan dieksploitasi oleh pihak berkuasa konservatif sebagai contoh moral untuk diikuti oleh umat Islam di kemudian hari, masa yang tidak pasti, apabila pengabdian umat beriman sekali lagi diuji oleh kedekatan dengan orang yang tidak beriman".[89]
Penerus Mouseion
[sunting | sunting sumber]Serapeion
[sunting | sunting sumber]Berdasarkan bukti-bukti yang terpencar, pada abad ke-4, sebuah lembaga yang disebut "Mouseion" mungkin telah didirikan kembali di tempat yang berbeda di Iskandariah.[81] Namun, tidak ada satu keterangan pun mengenai lembaga ini.[81] Lembaga ini mungkin memiliki beberapa buku, tetapi skalanya jelas tidak dapat dibandingkan dengan Perpustakaan Besar Iskandariah.[91] Pada akhir abad ke-4, perpustakaan Serapeion mungkin memiliki koleksi buku terbesar di Iskandariah.[92] Pada dasawarsa 370-an dan 380-an, Serapeion juga masih menjadi tempat peziarahan bagi penganut paganisme.[93]
Selain memiliki perpustakaan terbesar di Iskandariah, Serapeion masih berfungsi sebagai kuil dan bahkan di situ juga terdapat ruangan-ruangan kelas untuk para filsuf yang mau mengajar.[93] Serapeion cenderung menarik para pengikut aliran neoplatonisme Iamblikos.[93] Kebanyakan dari para filsuf ini tertarik dengan bidang teurgi, iaitu kajian ritual kultus dan praktik agama esoterik.[93] Filsuf Damaskios yang beraliran neoplatonisme (hidup sekitar tahun 458–setelah tahun 538) mencatat bahwa seorang lelaki yang bernama Olimpos datang dari Kilikia untuk mengajar di Serapeion, dan ia mengajarkan murid-muridnya dengan penuh semangat mengenai aturan pemujaan dewa secara tradisional dan praktik keagamaan kuno.[94] Ia memerintahkan murid-muridnya untuk memuja dewa-dewa dengan cara lama, dan mungkin ia juga mengajarkan mereka teurgi.[95]
Pada tahun 391, sekelompok pekerja Kristen di Iskandariah menemukan peninggalan Mithraion kuno.[95] Mereka memberikan beberapa benda yang dipakai untuk pemujaan kepada Uskup Iskandariah Teofilos.[95] Teofilos memerintahkan agar benda-benda tersebut diarak di jalanan untuk diejek dan diolok-olok.[95] Kaum pagan di Iskandariah pun murka, terutama para pengajar filsafat neoplatonisme dan teurgi di Serapeion.[95] Para guru di Serapeion mengangkat senjata dan melancarkan serangan gerilya terhadap warga Kristen di Iskandariah bersama dengan murid-murid mereka dan para pengikut lainnya. Dalam serangan ini, mereka membunuh banyak orang hingga akhirnya mereka terpaksa mundur.[95] Kaum Kristen membalasnya dengan menyerang dan menghancurkan Serapeion,[96][97] walaupun sebahagian dari barisan tiangnya masih berdiri hingga abad ke-12.[96] Namun, tidak ada catatan sejarah mengenai kehancuran Serapeion yang menyebutkan soal keberadaan sebuah perpustakaan, dan sumber-sumber yang ditulis sebelum Serapeion dihancurkan menyebut keberadaan buku dengan menggunakan kala lampau, sehingga kemungkinan Serapeion sudah tidak memiliki koleksi buku yang besar ketika tempat ini dihancurkan.[98][97]
Sekolah Theon dan Hipatia
[sunting | sunting sumber]Ensiklopedia Suda, iaitu sebuah ensiklopedia Romawi Timur dari abad ke-10, menyebut Theon dari Iskandariah (hidup sekitar tahun 335–405) dengan julukan "orang Mouseion".[99] Namun, menurut pakar sejarah klasik Edward J. Watts, Theon kemungkinan merupakan kepala sebuah sekolah yang disebut "Mouseion", walaupun sekolah ini tidak ada kaitannya dengan gedung Mouseion yang pernah menjadi tempat berdirinya Perpustakaan Besar.[99] Sekolah Theon sangat bergengsi, beraliran konservatif, dan juga bersifat eksklusif.[100] Theon tampaknya sama sekali tidak berhubungan dengan para filsuf yang sangat teguh dengan pendirian neoplatonisme Iamblikosnya di Serapeion.[96] Theon tampaknya malah menolak ajaran Iamblikos[100] dan mungkin ia bangga dengan neoplatonisme "murni" yang ia ajarkan.[100] Putri Theon yang bernama Hipatia (lahir sekitar tahun 350-370, meninggal tahun 415 M) menggantikannya sebagai kepala sekolah ini sekitar tahun 400 M.[101] Sama seperti ayahnya, ia menolak ajaran Iamblikos dan mendukung neoplatonisme "asli" yang dikemukakan oleh Plotinos.[100]
Uskup Teofilos menoleransi sekolah Hipatia dan bahkan dua murid Hipatia juga menjadi uskup di bawah wewenang Teofilos.[102] Hipatia sangat disukai oleh rakyat Iskandariah[103] dan merupakan sosok yang berpengaruh secara politik.[103] Teofilos menghormati struktur politik di Iskandariah dan tidak menolak hubungan erat Hipatia dengan para prefek Romawi.[102] Namun, setelah Teofilos tidak lagi berkuasa, Hipatia terseret dalam percekcokan antara Prefek Romawi di Iskandariah, Orestes, dengan Uskup Kirilos dari Iskandariah.[104][105] Muncul desas-desus yang mengatakan bahwa Hipatia adalah orang yang membuat Orestes tidak bisa rukun dengan Kirilos.[104][106] Kemudian, pada Maret 415, Hipatia dibunuh oleh gerombolan Kristen yang dipimpin oleh seorang lektor yang bernama Petrus.[104][107] Hipatia tidak memiliki penerus dan sekolahnya bubar setelah ia menjemput ajalnya.[108]
Sekolah dan perpustakaan lain di Iskandariah
[sunting | sunting sumber]Walaupun nasib Hipatia berakhir tragis, ia bukanlah satu-satunya penganut paganisme di Iskandariah, dan ia juga bukan filsuf neoplatonisme yang terakhir.[109][110] Neoplatonisme dan paganisme masih tetap ada di Iskandariah dan wilayah Mediterania Timur selama berabad-abad setelah ia menjemput ajalnya.[109][110] Ahli Egiptologi Charlotte Booth memberikan catatan bahwa ada banyak balai ceramah akademik baru yang dibangun di Kom el-Dikka, Iskandariah, tak lama setelah kemangkatan Hipatia, sehingga filsafat kemungkinan masih diajarkan di sekolah-sekolah Iskandariah.[111] Penulis dari akhir abad ke-5, Zakarias Skolastikos dan Aeneas dari Gaza sama-sama membahas "Mouseion" sebagai sesuatu yang menempati ruang fisik.[81] Arkeolog telah mengidentifikasi balai-balai ceramah dari masa ini yang berada di dekat Mouseion dari zaman Ptolemaios, dan mungkin balai-balai inilah yang dimaksud dengan "Mouseion" oleh para penulis ini.[81]
Pada tahun 642, Iskandariah direbut oleh pasukan Muslim yang dipimpin oleh Amru bin Ash. Beberapa sumber sejarah berbahasa Arab menjelaskan tentang kehancuran perpustakaan ini atas perintah dari Khalifah Umar bin Khattab.[112][113][114] Bar-Hebraeus juga menulis pada abad ke-13 bahwa Umar pernah berkata kepada Yaḥyā an-Naḥwī (Ioannes Filoponos): "Jika buku-buku tersebut sesuai dengan Al-Qur'an, kami tidak membutuhkannya; dan jika bertentangan dengan Al-Qur'an, hancurkanlah."[112] Para ahli dari zaman berikutnya meragukan kebenaran kisah ini karena baru ditulis lama setelah masa Umar, sehingga terdapat kemungkinan bahwa penulis yang membuat kutipan tersebut memiliki niatan politik.[87][88]
Koleksi
[sunting | sunting sumber]Koleksi di Perpustakaan Iskandariah terdiri dari tatal-tatal papirus.[115] Keberadaan Perpustakaan Iskandariah secara tidak langsung menjadi penyebab pembuatan perkamen, iaitu media tulis yang terbuat dari kulit hewan. Orang-orang Mesir menolak menjual papirus kepada pesaing mereka di Perpustakaan Pergamon, sehingga Pergamon harus mengembangkan perkamen sebagai media penulisannya sendiri.[116]
Jumlah koleksi Perpustakaan Iskandariah tidak dapat ditentukan secara pasti. Raja Ptolemaios II Filadelfos (309–246 SM) konon pernah memasang target sebesar 500.000 tatal untuk perpustakaan ini. Pada abad pertama SM, perpustakaan ini dilaporkan memiliki 40.000 tatal, 400.000 tatal, atau bahkan 700.000 tatal. Namun, tidak diketahui ada berapa banyak karya yang disimpan di perpustakaan ini, karena satu karya bisa terdiri dari sejumlah tatal.[6]
Hingga kini belum ada papirus yang ditemukan berasal dari perpustakaan ini.[117][115] Sebagai sebuah lembaga penelitian, perpustakaan ini mengisi koleksinya dengan karya-karya ilmiah, khususnya dalam bidang astronomi, matematika, kedokteran, dan filsafat. Sebahagian besar karya di perpustakaan ini ditulis dalam bahasa Yunani Kuno, tetapi ada pula naskah yang tertulis dalam bahasa lain seperti bahasa Mesir Kuno dan bahasa Ibrani. Selain itu, di perpustakaan ini juga ada naskah berbahasa asing dari Persia dan India mengenai agama Zoroaster dan Buddha.[118][119] Suatu karya sering kali memiliki lebih dari satu versi, sehingga dapat disimpulkan bahwa para cendekiawan di perpustakaan ini berkecimpung dalam kritik tekstual.[120]
Peninggalan sejarah
[sunting | sunting sumber]Zaman kuno
[sunting | sunting sumber]Perpustakaan Iskandariah adalah salah satu perpustakaan terbesar dan paling bergengsi pada zaman kuno, tetapi perpustakaan ini bukanlah satu-satunya perpustakaan di dunia.[7][121][122] Pada akhir zaman Helenistik, hampir semua kota besar di kawasan Mediterania Timur memiliki perpustakaan umum, dan banyak kota berukuran sedang yang juga memiliki perpustakaan.[7][4] Pada zaman Romawi, jumlah perpustakaan terus bertambah.[123] Pada abad keempat Masehi, terdapat paling tidak dua lusin perpustakaan umum di Kota Roma.[123]
Pada akhir zaman kuno, ketika agama Kristen menyebar di KeMaharajaan Romawi, perpustakaan-perpustakaan Kristen dibangun dengan mengikuti model Perpustakaan Iskandariah di wilayah keMaharajaan yang berbahasa Yunani.[123] Contohnya adalah Perpustakaan Teologi Maharajaea Maritima, Perpustakaan Yerusalem, dan perpustakaan Kristen di Iskandariah.[123] Perpustakaan-perpustakaan ini menyimpan tulisan pagan dan Kristen,[123] dan para cendekiawan Kristen yang sedang mengkaji Alkitab menggunakan teknik filologi yang sama dengan teknik cendekiawan-cendekiawan di Perpustakaan Iskandariah dalam mengkaji teks-teks klasik Yunani.[123] Walaupun begitu, kajian Alkitab tetap diutamakan oleh mereka hingga masa Renaisans.[123]
Namun, naskah-naskah kuno terus diturunkan hingga zaman moden bukan berkat keberadaan perpustakaan-perpustakaan besar, tetapi justru karena naskah-naskah tersebut terus disalin, pada mulanya oleh juru tulis profesional pada zaman Romawi dengan menggunakan papirus dan kemudian oleh para biarawan pada Abad Pertengahan dengan menggunakan perkamen.[1][124]
Bibliotheca Alexandrina
[sunting | sunting sumber]Gagasan untuk membangkitkan kembali Perpustakaan Iskandariah pada zaman moden pertama kali dicetuskan pada tahun 1974 ketika jabatan kepala Universitas Iskandariyah dipegang oleh Lotfy Dowidar.[125] Pada Mei 1986, Mesir meminta kepada Badan Eksekutif UNESCO untuk melakukan kajian kelayakan.[125] Maka dimulailah keterlibatan UNESCO dan komunitas internasional dalam upaya untuk mewujudkan proyek ini.[125] Pada tahun 1988, UNESCO dan UNDP menggelar sayembara arsitektur internasional untuk merancang gedungnya.[125] Sementara itu, Mesir menyiapkan empat hektare lahan untuk gedung perpustakaannya dan juga mendirikan Komisi Tinggi Nasional untuk Perpustakaan Iskandariah.[126] Presiden Mesir Hosni Mubarak sendiri sangat tertarik dengan proyek ini, alhasil proyek ini terus mengalami kemajuan.[127] Proyek ini akhirnya dituntaskan pada tahun 2002, dan Bibliotheca Alexandrina kini berfungsi sebagai perpustakaan moden dan pusat kebudayaan. Di perpustakaan ini juga terdapat International School of Information Science (ISIS), iaitu sekolah yang menawarkan pendidikan pascasarjana untuk petugas perpustakaan profesional.[128]
Catatan
[sunting | sunting sumber]Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Garland 2008, m/s. 61.
- ^ a b c d Tracy 2000, m/s. 343–344.
- ^ a b c d e f g h i j Phillips 2010.
- ^ a b c d e f g h MacLeod 2000, m/s. 3.
- ^ a b c d Casson 2001, m/s. 35.
- ^ a b Wiegand & Davis 2015, m/s. 20.
- ^ a b c Garland 2008, m/s. 60.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Haughton 2011.
- ^ a b c d e f g h i j k MacLeod 2000, m/s. 5.
- ^ MacLeod 2000, m/s. 1–2, 10–11.
- ^ MacLeod 2000, m/s. 13.
- ^ a b c MacLeod 2000, m/s. 11.
- ^ a b c d e MacLeod 2000, m/s. 2.
- ^ MacLeod 2000, m/s. 1.
- ^ a b MacLeod 2000, m/s. 1–2.
- ^ a b MacLeod 2000, m/s. 2–3.
- ^ a b c Fox 1986, m/s. 341.
- ^ Fox 1986, m/s. 340.
- ^ Fox 1986, m/s. 340–341.
- ^ a b Lindberg 1980, m/s. 5.
- ^ a b c d Tracy 2000, m/s. 343.
- ^ Tracy 2000, m/s. 344–345.
- ^ a b Wiegand & Davis 2015, m/s. 19.
- ^ Lyons 2011, m/s. 26.
- ^ Manguel 2008, m/s. 26.
- ^ a b c d e Casson 2001, m/s. 34.
- ^ Erksine 1995, m/s. 38-48.
- ^ MacLeod 2000, m/s. 4–5.
- ^ a b Casson 2001, m/s. 36.
- ^ Casson 2001, m/s. 33–34.
- ^ a b c d e f g h i MacLeod 2000, m/s. 4.
- ^ MacLeod 2000, m/s. 3–4.
- ^ a b c d Staikos 2000, m/s. 66.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t Dickey 2007, m/s. 5.
- ^ a b c d e f g Casson 2001, m/s. 37.
- ^ a b c Casson 2001, m/s. 39–40.
- ^ a b c Casson 2001, m/s. 40.
- ^ a b c Montana 2015, m/s. 109.
- ^ a b c d e f g h MacLeod 2000, m/s. 6.
- ^ a b c Montana 2015, m/s. 110.
- ^ Montana 2015, m/s. 109–110.
- ^ Montana 2015, m/s. 114.
- ^ a b c Montana 2015, m/s. 115.
- ^ a b Montana 2015, m/s. 116.
- ^ a b Casson 2001, m/s. 41.
- ^ Montana 2015, m/s. 116–117.
- ^ a b c d e f Montana 2015, m/s. 117.
- ^ MacLeod 2000, m/s. 6–7.
- ^ a b c d e f MacLeod 2000, m/s. 7.
- ^ a b McKeown 2013, m/s. 147–148.
- ^ Trumble & MacIntyre Marshall 2003.
- ^ a b c d e Casson 2001, m/s. 38.
- ^ McKeown 2013, m/s. 148–149.
- ^ a b c d McKeown 2013, m/s. 149.
- ^ a b Montana 2015, m/s. 118.
- ^ MacLeod 2000, m/s. 7–8.
- ^ Dickey 2007, m/s. 5, 93.
- ^ Dickey 2007, m/s. 5, 92–93.
- ^ Dickey 2007, m/s. 93.
- ^ a b Montana 2015, m/s. 129.
- ^ a b c d e f Meyboom 1995, m/s. 173.
- ^ a b Casson 2001, m/s. 43.
- ^ a b Montana 2015, m/s. 130.
- ^ a b Dickey 2007, m/s. 5–6.
- ^ a b c d e f g h Dickey 2007, m/s. 6.
- ^ a b c d Casson 2001, m/s. 45.
- ^ Meyboom 1995, m/s. 373.
- ^ a b c d e f g h i j k l Casson 2001, m/s. 47.
- ^ a b c d e f g h i j k l m Watts 2008, m/s. 149.
- ^ a b c d Fox 1986, m/s. 351.
- ^ McKeown 2013, m/s. 150.
- ^ a b c d e f g h i Casson 2001, m/s. 46.
- ^ Cherf 2008, m/s. 70.
- ^ a b Tocatlian 1991, m/s. 256.
- ^ a b c d Dickey 2007, m/s. 7.
- ^ McKeown 2013, m/s. 149–150.
- ^ Casson 2001, m/s. 46–47.
- ^ a b c d e f g MacLeod 2000, m/s. 9.
- ^ a b Watts 2008, m/s. 148.
- ^ Watts 2008, m/s. 149–150.
- ^ a b c d e f g h i j Watts 2008, m/s. 150.
- ^ De Sacy, Relation de l’Egypte par Abd al-Latif, Paris, 1810: "Above the column of the pillars is a dome supported by this column. I think this building was the portico where Aristotle taught, and after him his disciples; and that this was the academy that Alexander built when he built this city, and where was placed the library which Amr ibn-Alas burned, with the permission of Omar." Google books here [1]. Translation of De Sacy from here [2] Diarkibkan 11 Mei 2011 di Wayback Machine. Other versions of Abd-el-Latif in English here [3] Diarkibkan 15 September 2010 di Wayback Machine.
- ^ Samir Khalil, «L’utilisation d’al-Qifṭī par la Chronique arabe d’Ibn al-'Ibrī († 1286)», in: Samir Khalil Samir (Éd.), Actes du IIe symposium syro-arabicum (Sayyidat al-Bīr, septembre 1998). Études arabes chrétiennes, = Parole de l'Orient 28 (2003) 551–598. An English translation of the passage in Al-Qifti by Emily Cottrell of Leiden University is at the Roger Pearse blog here [4] Diarkibkan 11 Mei 2011 di Wayback Machine
- ^ Ed. Pococke, p. 181, translation on p. 114. Online Latin text and English translation here [5] Diarkibkan 15 September 2010 di Wayback Machine. Latin: "Quod ad libros quorum mentionem fecisti: si in illis contineatur, quod cum libro Dei conveniat, in libro Dei [est] quod sufficiat absque illo; quod si in illis fuerit quod libro Dei repugnet, neutiquam est eo [nobis] opus, jube igitur e medio tolli". Jussit ergo Amrus Ebno’lAs dispergi eos per balnea Alexandriae, atque illis calefaciendis comburi; ita spatio semestri consumpti sunt. Audi quid factum fuerit et mirare."
- ^ E. Gibbon, Decline and Fall, chapter 51: "It would be endless to enumerate the moderns who have wondered and believed, but I may distinguish with honour the rational scepticism of Renaudot, (Hist. Alex. Patriarch, p. 170: ) historia ... habet aliquid ut απιστον ut Arabibus familiare est." However Butler says: "Renaudot thinks the story has an element of untrustworthiness: Gibbon discusses it rather briefly and disbelieves it." (ch. 25, p. 401)
- ^ Lewis, Bernard; Lloyd-Jones, Hugh (27 September 1990). "The Vanished Library by Bernard Lewis". nybooks.com. Diarkibkan daripada yang asal pada 16 November 2006. Dicapai pada 26 November 2006.
- ^ a b Trumble & MacIntyre Marshall 2003, m/s. 51. "Today most scholars have discredited the story of the destruction of the Library by the Muslims."
- ^ a b MacLeod 2000, m/s. 71. "The story first appears 500 years after the Arab conquest of Alexandria. John the Grammarian appears to be John Philoponus, who must have been dead by the time of the conquest. It seems, as shown above, that both of the Alexandrian libraries were destroyed by the end of the fourth century, and there is no mention of any library surviving at Alexandria in the Christian literature of the centuries following that date. It is also suspicious that Omar is recorded to have made the same remark about books found by the Arab during their conquest of Iran."
- ^ Diana, Delia (Dec 1992). "From Romance to Rhetoric: The Alexandrian Library in Classical and Islamic Traditions". The American Historical Review. 97 (5): 1449–1467. doi:10.2307/2165947. JSTOR 2165947.
- ^ Watts 2017, m/s. 60.
- ^ Watts 2008, m/s. 150–151.
- ^ Watts 2008, m/s. 150, 189.
- ^ a b c d Watts 2008, m/s. 189.
- ^ Watts 2008, m/s. 189–190.
- ^ a b c d e f Watts 2008, m/s. 190.
- ^ a b c Watts 2008, m/s. 191.
- ^ a b Theodore 2016, m/s. 182–183.
- ^ El-Abbadi 1990, m/s. 159, 160.
- ^ a b Watts 2008, m/s. 191–192.
- ^ a b c d Watts 2008, m/s. 192.
- ^ Oakes 2007, m/s. 364.
- ^ a b Watts 2008, m/s. 196.
- ^ a b Watts 2008, m/s. 195–196.
- ^ a b c Novak 2010, m/s. 240.
- ^ Cameron, Long & Sherry 1993, m/s. 58–61.
- ^ Cameron, Long & Sherry 1993, m/s. 59.
- ^ Cameron, Long & Sherry 1993, m/s. 59–61.
- ^ Watts 2017, m/s. 117.
- ^ a b Booth 2017, m/s. 151–152.
- ^ a b Watts 2017, m/s. 154–155.
- ^ Booth 2017, m/s. 151.
- ^ a b Becht-Jördens 2019, m/s. 397-398.
- ^ Abd-Allatif 1810, m/s. 183.
- ^ Samir 2003.
- ^ a b Bagnall 2002, m/s. 358–359.
- ^ Murray 2009, m/s. 14.
- ^ Zdiarsky 2011, m/s. 169.
- ^ Orru 2002, m/s. 31.
- ^ Zdiarsky 2011, m/s. 168.
- ^ Orru 2002, m/s. 32.
- ^ MacLeod 2000, m/s. 3, 10–11.
- ^ Casson 2001, m/s. 48.
- ^ a b c d e f g Nelles 2010, m/s. 533.
- ^ Nelles 2010, m/s. 533–534.
- ^ a b c d Tocatlian 1991, m/s. 265.
- ^ Tocatlian 1991, m/s. 265–266.
- ^ Tocatlian 1991, m/s. 266.
- ^ Tocatlian 1991, m/s. 259.
Bibliografi
[sunting | sunting sumber]- Abd-Allatif, Movaffik-Eddin (1810), Relation de l'Egypte par Abd-Allatif, médecin arabe de Bagdad: suivie de divers extraits d'écrivains orientaux, et d'un état des provinces et des villages de l'Egypte dans le XIVe siècle, Paris: Treuttel et WürtzCS1 maint: ref=harv (link)
- Bagnall, Roger S. (2002), "Alexandria: Library of Dreams" (PDF), Proceedings of the American Philosophical Society, American Philosophical Society, 146: 348–362CS1 maint: ref=harv (link)
- Barnes, Robert (2000), "3. Cloistered Bookworms in the Chicken-Coop of the Muses: The Ancient Library of Alexandria", dalam MacLeod, Roy (penyunting), The Library of Alexandria: Centre of Learning in the Ancient World, New York City, New York and London, England: I.B.Tauris Publishers, m/s. 61–78, ISBN 978-1-85043-594-5CS1 maint: ref=harv (link)
- Becht-Jördens, Gereon (2019), "Die verlorene Handschrift: Zum Motiv von Zerstörung, Verlust und Wiederauffindung als Strategie der Traditionssicherung in der lateinischen Literatur des Mittelalters", dalam Kühne-Wespi, Carina; Oschema, Klaus Peter; Quack, Joachim Friedrich (penyunting), Zerstörung von Geschriebenem: Historische und transkulturelle Perspektiven, Göttingen: De Gruyter, m/s. 393–436, ISBN 9783110629040CS1 maint: ref=harv (link)
- Booth, Charlotte (2017), Hypatia: Mathematician, Philosopher, Myth, London, England: Fonthill Media, ISBN 978-1-78155-546-0CS1 maint: ref=harv (link)
- Cameron, Alan; Long, Jacqueline; Sherry, Lee (1993), Barbarians and Politics at the Court of Arcadius, Berkeley and Los Angeles, California: University of California Press, ISBN 978-0-520-06550-5CS1 maint: ref=harv (link)
- Casson, Lionel (2001), Libraries in the Ancient World, New Haven, Connecticut: Yale University Press, ISBN 978-0-300-09721-4CS1 maint: ref=harv (link)
- Cherf, William J. (2008), "Earth Wind and Fire: The Alexandrian Fire-storm of 48 B.C.", dalam El-Abbadi, Mostafa; Fathallah, Omnia Mounir (penyunting), What Happened to the Ancient Library of Alexandria?, Leiden: BRILL, ISBN 978-90-474-3302-6
- Dickey, Eleanor (2007), Ancient Greek Scholarship: A Guide to Finding, Reading, and Understanding Scholia, Commentaries, Lexica, and Grammatical Treatises from Their Beginnings to the Byzantine Period, Oxford, England: Oxford University Press, ISBN 978-0-19-531293-5CS1 maint: ref=harv (link)
- El-Abbadi, Mostafa (1990), The Life and Fate of the Ancient Library of Alexandria (ed. 2), UNESCO/UNDP, ISBN 978-92-3-102632-4
- Erksine, Andrew (1995), "Culture and Power in Ptolemaic Egypt: The Museum and Library of Alexandria", Greece & Rome, 42 (1): 38–48CS1 maint: ref=harv (link)
- Fox, Robert Lane (1986), "14: Hellenistic Culture and Literature", dalam Boardman, John; Griffin, Jasper; Murray, Oswyn (penyunting), The Oxford History of the Classical World, Oxford, England: Oxford University Press, m/s. 338–364, ISBN 978-0198721123CS1 maint: ref=harv (link)
- Garland, Robert (2008), Ancient Greece: Everyday Life in the Birthplace of Western Civilization, New York City, New York: Sterling, ISBN 978-1-4549-0908-8CS1 maint: ref=harv (link)
- Gibbon, Edward (1776–1789). The History of the Decline and Fall of the Roman Empire.
- Haughton, Brian (1 Februari 2011), "What happened to the Great Library at Alexandria?", Ancient History EncyclopediaCS1 maint: ref=harv (link)
- Samir, Samir Khalil (2003), "L'utilisation d'al-Qifti par la chronique arabe d'Ibn al-Ibri 1286" (PDF), Parole de l'Orient, Faculté Pontificale de Théologie de l'Université Saint-Esprit de Kaslik, 28: 551–598, diarkibkan daripada yang asal (PDF) pada 2021-01-20, dicapai pada 2020-06-12 Unknown parameter
|dead-url=
ignored (bantuan)CS1 maint: ref=harv (link) - Lindberg, David C. (15 March 1980), Science in the Middle Ages, University of Chicago Press, ISBN 978-0-226-48233-0
- Lyons, Martyn (2011), Books: A Living History, Los Angeles, CA: Getty Publications, ISBN 978-1-60606-083-4CS1 maint: ref=harv (link)
- MacLeod, Roy (2000), "Introduction: Alexandria in History and Myth", dalam MacLeod, Roy (penyunting), The Library of Alexandria: Centre of Learning in the Ancient World, New York City, New York and London, England: I.B.Tauris Publishers, m/s. 1–18, ISBN 978-1-85043-594-5CS1 maint: ref=harv (link)
- Manguel, Alberto (2008), The Library at Night, New Haven: Yale University Press, ISBN 9780300151305CS1 maint: ref=harv (link)
- Meyboom, P. G. P. (1995), The Nile Mosaic of Palestrina: Early Evidence of Egyptian Religion in Italy, Religions in the Graeco-Roman World, Leiden, The Netherlands: E. J. Brill, m/s. 373, ISBN 978-90-04-10137-1CS1 maint: ref=harv (link)
- McKeown, J. C. (2013), A Cabinet of Greek Curiosities: Strange Tales and Surprising Facts from the Cradle of Western Civilization, Oxford, England: Oxford University Press, ISBN 978-0-19-998210-3CS1 maint: ref=harv (link)
- Montana, Fausto (2015), "Hellenistic Scholarship", dalam Montanari, Franco; Matthaios, Stephanos; Rengakos, Antonios (penyunting), Brill's Companion to Ancient Greek Scholarship, 1, Leiden, The Netherlands and Boston, Massachusetts: Koninklijke Brill, m/s. 60–183, ISBN 978-90-04-28192-9CS1 maint: ref=harv (link)
- Murray, Stuart A.P. (2009), The Library: An Illustrated History, New York: Skyhorse, ISBN 9781602397064CS1 maint: ref=harv (link)
- Nelles, Paul (2010), "Libraries", dalam Grafton, Anthony; Most, Glenn W.; Settis, Salvatore (penyunting), The Classical Tradition, Cambridge, Massachusetts and London, England: The Belknap Press of Harvard University Press, m/s. 532–536, ISBN 978-0-674-03572-0CS1 maint: ref=harv (link)
- Novak, Ralph Martin, Jr. (2010), Christianity and the Roman Empire: Background Texts, Harrisburg, Pennsylvania: Bloomsbury Publishing, m/s. 239–240, ISBN 978-1-56338-347-2
- Oakes, Elizabeth H. (2007), "Hypatia", Encyclopedia of World Scientists, New York City, New York: Infobase Publishing, m/s. 364, ISBN 978-1-4381-1882-6CS1 maint: ref=harv (link)
- Orru, Cécile (2002), "Ein Raub der Flammen? Die königliche Bibliothek von Alexandria", dalam Hoepfner, Wolfram (penyunting), Antike Bibliotheken, Mainz: Zabern, ISBN 978-3805328463CS1 maint: ref=harv (link)
- Phillips, Heather (2010). "The Great Library of Alexandria?". Library Philosophy and Practice. University of Nebraska–Lincoln. Diarkibkan daripada yang asal pada 26 July 2012. Dicapai pada 26 July 2012. Unknown parameter
|deadurl=
ignored (bantuan)CS1 maint: ref=harv (link) - Staikos, Konstantinos Sp. (2000), The Great Libraries: From Antiquity to the Renaissance, New Castle, Delaware and London, England: Oak Knoll Press & The British Library, ISBN 978-1-58456-018-0CS1 maint: ref=harv (link)
- Theodore, Jonathan (2016), The Modern Cultural Myth of the Decline and Fall of the Roman Empire, Manchester, England: Palgrave, Macmillan, ISBN 978-1-137-56997-4CS1 maint: ref=harv (link)
- Tocatlian, Jacques (September 1991), "Bibliotheca Alexandrina—Reviving a legacy of the past for a brighter common future", International Library Review, Amsterdam, The Netherlands: Elsevier, 23 (3): 255–269, doi:10.1016/0020-7837(91)90034-WCS1 maint: ref=harv (link)
- Tracy, Stephen V (2000), "Demetrius of Phalerum: Who was He and Who was He Not?", dalam Fortenbaugh, William W.; Schütrumpf, Eckhart (penyunting), Demetrius of Phalerum: Text, Translation and Discussion, Rutgers University Studies in Classical Humanities, IX, New Brunswick, New Jersey and London, England: Transaction Publishers, ISBN 978-1-3513-2690-2CS1 maint: ref=harv (link)
- Trumble, Kelly; MacIntyre Marshall, Robina (2003), The Library of Alexandria, Houghton Mifflin Harcourt, ISBN 978-0-395-75832-8CS1 maint: ref=harv (link)
- Watts, Edward J. (2008) [2006], City and School in Late Antique Athens and Alexandria, Berkeley dan Los Angeles, California: University of California Press, ISBN 978-05-2025-816-7CS1 maint: ref=harv (link)
- Watts, Edward J. (2017), Hypatia: The Life and Legend of an Ancient Philosopher, Oxford, England: Oxford University Press, ISBN 978-0-1906-5914-1CS1 maint: ref=harv (link)
- Wiegand, Wayne A.; Davis, Donald G. Jr. (2015), Encyclopedia of Library History, New York dan London: Routledge, ISBN 9781135787578CS1 maint: ref=harv (link)
- Zdiarsky, Angelika (2011), "Bibliothekarische Überlegungen zur Bibliothek von Alexandria", dalam Blumenthal, Elke; Schmitz, Wolfgang (penyunting), Bibliotheken im Altertum (= Wolfenbütteler Schriften zur Geschichte des Buchwesens 45), Wiesbaden: Harrassowitz, ISBN 978-3447064064CS1 maint: ref=harv (link)
Bacaan lanjut
[sunting | sunting sumber]- Berti, Monica; Costa, Virgilio (2010). La Biblioteca di Alessandria: storia di un paradiso perduto. Tivoli (Roma): Edizioni TORED. ISBN 978-88-88617-34-3.
- Canfora, Luciano (1990). The Vanished Library. University of California Press. ISBN 978-0-520-07255-8.
- Jochum, Uwe. "The Alexandrian Library and Its Aftermath" from Library History vol, pp. 5–12.
- Orosius, Paulus (trans. Roy J. Deferrari) (1964). The Seven Books of History Against the Pagans. Washington, D.C.: Catholic University of America. (No ISBN).
- Olesen-Bagneux, O. B. (2014). The Memory Library: How the library in Hellenistic Alexandria worked. Knowledge Organization, 41(1), 3-13.
- Parsons, Edward. The Alexandrian Library. London, 1952. Relevant online excerpt.
- Stille, Alexander: The Future of the Past (chapter: "The Return of the Vanished Library"). New York: Farrar, Straus and Giroux, 2002. pp. 246–273.
Pautan luar
[sunting | sunting sumber]- James Hannam: The Mysterious Fate of the Great Library of Alexandria.
- Krasner-Khait, Barbara (October–November 2001). "Survivor: The History of the Library". History Magazine. Dicapai pada 6 Mei 2012.
- Papyrus fragment (P.Oxy.1241): An ancient list of head librarians.
- The BBC Radio 4 program In Our Time discussed The Library of Alexandria 12 March 2009
- The Burning of the Library of Alexandria
- Hart, David B. "The Perniciously Persistent Myths of Hypatia and the Great Library," First Things, 4 Juni 2010
- Teks di Wikisumber:
- "Alexandrian Library". Encyclopedia Americana. 1920.
- "Alexandrian Library". New International Encyclopedia. 1905.
- "Alexandrian Library". The American Cyclopædia. 1879.
- Rencana Wikipedia menggabungkan petikan dari Encyclopedia Americana dengan rujukan Wikisource
- Rencana Wikipedia yang menggabungkan petikan daripada New International Encyclopedia
- Rencana Wikipedia yang memasukkan petikan dari The American Cyclopaedia
- Rencana Wikipedia yang memasukkan petikan dari The American Cyclopaedia dengan rujukan Wikisumber
- Perpustakaan bersejarah
- Mesir Kuno
- Sejarah museum
- Arkitektur Helenistik
- Perpustakaan di Mesir
- Tapak arkeologi di Mesir