Semar

Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.
Patung wayang Semar

Semar (Jawa: ꦱꦼꦩꦂ, translit. Samar) atau nama panjangnya Batara Ismaya Batara Iswara Jurudyah Punta Prasanta Semar (Jawa: ꦨꦛꦴꦫ​ꦅꦰ꧀ꦩꦪꦨꦛꦴꦫ​ꦅꦯ꧀ꦮꦫꦗꦸꦫꦸꦢꦾꦃ​ꦥꦸꦤ꧀ꦠ​ꦥꦿꦰꦤ꧀ꦠ​ꦱꦼꦼꦩꦂ, translit. Bathårå Ismåyå Bathårå Iswårå Jurudyah Puntå Prasantå Semar) adalah nama watak badut utama (punakawan) dalam seni wayang masyarakat Jawa. Tokoh ini diciptakan pujangga Jawa khusus sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesateria dalam pementasan hikayat-hikayat Mahabharata dan Ramayana,[1] peranan mahupun namanya tidak ditemukan langsung dalam naskhah asli kededua hikayat tersebut di tanah India yang dipegang oleh Kerisna seorang sahaja.

Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kayangan. Jadi, apabila para pemerintah - yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar - mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.

Bentuk rupa[sunting | sunting sumber]

Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya. Semar selalu tersenyum, tetapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tetapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tetapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala.[2] Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh ditarikh tahun 1437.[3]

Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, iaitu Sadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.

Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.

Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melainkan penjelmaan Batara Ismaya, kakak nomer 2 dari Batara Guru/ Sang Hyang Jagad Guru Pratingkah, Sang Hyang Batara Manikmaya ,Sang Hyang Batara Nilakanta iaitu raja para dewa. dan Raja Tribuwana

Asal-usul[sunting | sunting sumber]

Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.[4]

Dalam naskhah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kayangan bernama Sang Hyang Batara Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sang Hyang Batara Tunggal dan Sang Hyang Batara Wenang/ Sang Hyang Asip Prono atau Sang Hyang Asip Rono. Kerana rupa Sang Hyang Tunggal sangat jelek, maka takhta kayangan pun diwariskan kepada Sang Hyang Wenang. Dari Sang Hyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yang bernama Batara Guru. Sang Hyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.

Dalam naskhah Paramayoga dikisahkan, Sang Hyang Tunggal adalah anak dari Sang Hyang Wenang. Sang Hyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti atau Batari Rakti, seorang puteri raja jin ketam bernama Sang Hyang Yuyut. Dari perkahwinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pemuda. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kayangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putera sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuhan mempunyai seorang anak berbadan gempal bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumayasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuk Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu Ismaya.

Dalam naskhah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Sang Hyang Batara Puguh, Sang Hyang Batara Punggung, Sang Hyang Batara Manan, dan Sang Hyang Batara Samba. Suatu hari terdengar khabar bahawa takhta kayangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga-tiga kakaknya merasa iri hati. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog Tejomantri sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada atau Resi Kanekaputra dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.

Dalam naskhah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati puteri Sanghyang Rekatatama. Dari perkahwinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bahagian, iaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkerang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kayangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, iaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bahagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, tetapi tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi manusia biasa dan harus turun ke dunia ,Manikmaya yang kemudian diangkat sebagai raja kayangan Tribhuwana, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog Tejomantri mempunyai teman Bilung Sarawita yang ditugaskan untuk mengemong mengasuh atau menuntun bangsa yang berwatak serakah bengis kejam angkara murka dan Semar ditugaskan untuk mengasuh mengemong menuntun para manusia Satria yang mempuyai watak santun berbudi pekerti luhur

Salasilah dan keluarga[sunting | sunting sumber]

Watak Semar dalam wayang golek

Dalam pewayangan dikisahkan, Batara Ismaya sewaktu masih di kayangan sempat dijodohkan dengan sepupunya yang bernama Dewi Senggani atau Batari Senggani Dari perkahwinan itu lahir sepuluh orang anak, iaitu:

Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi Manumayasa, leluhur para Pandawa. Pada suatu hari Semar diserang dua ekor harimau berwarna merah dan putih. Manumanasa memanah keduanya sehingga berubah ke wujud asli, iaitu sepasang bidadari bernama Kanastri dan Kaniraras. Berkat pertolongan Manumanasa, kedua-dua bidadari tersebut telah terbebas dari kutukan yang mereka jalani. Kanistri kemudian menjadi isteri Semar, dan biasa dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara itu, Kaniraras menjadi isteri Manumanasa, dan namanya diganti menjadi Retnawati, karena kakak perempuan Manumanasa juga bernama Kaniraras.

Pasangan punakawan[sunting | sunting sumber]

Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, iaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa iaitu Prabu Gandarwarajabali. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Sang Hyang Wenang

Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot Astrajingga, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.

Dalam agama[sunting | sunting sumber]

Terdapat seberapa tokong yang khusus untuk sembahan kepada Semar dalam kalangan masyarakat penganut Buddha dan Kongzi setempat Jawa:

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ dia pengasuh keturunan Resi Manumanasa terutamanya para Pandawa dalam Mahabharata sedangkan dalam Ramayana dia pengasuh keluarga Sri Ramawijaya ataupun Sugriwa
  2. ^ Zoetmulder (1983:540–542).
  3. ^ Y, Ki Padmapuspita. Candi Sukuh dan Kidung Sudamala (PDF). Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen. Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. m/s. 64.
  4. ^ aziz, abdul (2016). Simbol Kekuasaan Antara Legenda Semar dan Wacana Nietzsche tentang Kekuasaan. surabaya.
  5. ^ Susi. 10 September 2012. TNOL, Wisata & Griya, Wisata & Kuliner, Pantai Loji, Wisata Vihara yang MistisTemplat:Pranala mati.
Pustaka
  • Slamet Muljana (1979) Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhrathara
  • P.J. Zoetmulder (1983) Kalangwan. Sastra Jawa Kuno selayang pandang. Jakarta: Djambatan.

Pautan luar[sunting | sunting sumber]

  • Kategori berkenaan Semar di Wikimedia Commons

Templat:Tokoh wayang