Pemerintah Indonesia
Sebahagian kandungan di laman rencana ini menggunakan istilah atau struktur ayat yang terlalu menyebelahi gaya bahasa negara tertentu hasil penggunaan semula kandungan sumber tanpa pengubahsuaian. Anda diminta mengolah semula gaya bahasa rencana ini supaya penggunaan istilah di rencana ini seimbang, selaras serta mudah difahami secara umum dalam kalangan pengguna bahasa Melayu yang lain menggunakan laman Istilah MABBIM kelolaan Dewan Bahasa dan Pustaka. Silalah membantu. Kata nama khas dan petikan media tertentu (seperti daripada akhbar-akhbar atau dokumen rasmi) perlu dikekalkan untuk tujuan rujukan. Sumber perkamusan dari Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia juga disediakan. Anda boleh rujuk: Laman Perbincangannya • Dasar dan Garis Panduan Wikipedia • Manual Menyunting |
Negara Anggota ASEAN |
Portal Indonesia |
Pemerintah Indonesia memiliki beberapa pengertian yang berbeza. Pada pengertian lebih luas, dapat merujuk secara kolektif pada tiga cabang kekuasaan pemerintah yakni Eksekutif, perundangan dan kehakiman. Selain itu juga diartikan sebagai Eksekutif dan Legislatif secara bersama-sama kerana kedua cabang kekuasaan inilah yang bertanggungjawab atas tata kelola bangsa dan pembuatan undang-undang. Sedangkan pada pengertian lebih sempit, digunakan hanya merujuk pada cabang eksekutif berupa Kabinet Pemerintahan kerana ini adalah bahagian dari pemerintah yang bertanggungjawab atas tatakelola pemerintahan sehari-hari.
Struktur kekuasaan di suatu negara memiliki struktur formal dan juga struktur informal yang disebut suprastruktur dan insfrastruktur, suprastruktur adalah pemerintahan kekuasaan politik yang berdaulat dan unsur-unsur pemerintahan negara yang salah satunya eksekutif dan legislatif, sedangkan infrastruktur yakni masyarakat dengan segala kelembagaan formalnya, dan salah satu tugas dari suprastruktur ini yaitu bagaimana membangun dan meningkatkan insfrastruktur, karena pemerintahan melakukan semua kegiatan untuk mengentaskan kemiskinan, mempercepat pembangunan, dan kesejahteraan masyarakat di negara tersebut[1].
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Sejak sebelum kemerdekaan, sebagian besar para pemimpin bangsa negara mengidealkan sistem Sistem presiden. Hal itu tercermin dalam perumusan UUD 1945 yang menentukan bahawa kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar dipegang oleh seorang Presiden dengan dibantu oleh satu orang Naib Presiden selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih dalam jawatan yang sama hanya untuk satu kali masa jawatan (Pasal 4 ayat 1 dan 2 jo Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Tidak seperti dalam sistem sistem berparlimen, Presiden ditegaskan dalam Pasal 7C UUD 1945, yang mana tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Bahkan ditegaskan pula bahawa dalam menjalankan tugas dan kewajiban konstitusionalnya, Presiden dibantu oleh para menteri yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan bertanggungjawab hanya kepada Presiden (Pasal 17 ayat 1 dan 2 UUD 1945). Dalam sistem pemerintahan yang diidealkan, tidak dikenal adanya ide mengenai jawatan Perdana Menteri ataupun Menteri Utama dalam pemerintahan Indonesia merdeka berdasarkan undang-undang dasar yang dirancang oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan kemudian disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945.[2]
Namun demikian, dalam praktik sesudah kemerdekaan pada tanggal 14 November 1945 iaitu hanya dalam waktu 3 bulan kurang dari 4 hari sejak pengesahan naskah UUD 1945 atau hanya dalam waktu 3 bulan kurang dari 5 hari sejak proklamasi kemerdekaan, Soekarno telah membentuk jawatan Perdana Menteri dengan mengangkat Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri Indonesia pertama dalam sejarah Indonesia merdeka. Sejak itu, sistem pemerintahan Republik Indonesia dengan diselingi oleh sejarah bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949, selalu menerapkan sistem pemerintahan "parlemen" atau setidaknya sistem pemerintahan campuran sampai terbentuknya pemerintahan Orde Baru. Sebagian terbesar administrasi pemerintahan yang dibentuk bersifat ‘dual executive’ iaitu terdiri atas kepala negara yang dipegang oleh Presiden dan kepala pemerintahan yang dipegang oleh Perdana Menteri atau yang disebut dengan istilah Menteri Utama ataupun dengan dirangkap oleh Presiden atau oleh Naib Presiden.[2]
Dalam suasana praktik sistem berparlemen itulah pada awal tahun 1946, Penjelasan UUD 1945 yang disusun oleh Soepomo dan diumumkan melalui Berita Repoeblik pada bulan Februari 1946 memuat uraian tentang kedudukan kepala negara dan kepala pemerintahan yang kemudian disalahfaham seakan dua jawatan yang dapat dibedakan satu sama lain sampai sekarang. Karena itu, sampai sekarang masih banyak sarjana yang beranggapan bahawa jawatan Sekretaris Negara adalah jawatan Setiausaha Presiden sebagai kepala negara, sedangkan Sekretaris Kabinet adalah sekretaris Presiden sebagai Ketua pemerintahan. Akibatnya muncul tafsir yang salah kaprah bahawa seakan-akan semua rancangan keputusan Presiden sebagai kepala negara harus dipersiapkan oleh Sekretariat Negara sedangkan rancangan keputusan Presiden sebagai kepala pemerintahan dipersiapkan oleh Sekretariat Kabinet. Padahal, dalam sistem pemerintahan presidential yang bersifat murni, yang ada adalah sistem ‘single executive’, di mana fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan terintegrasi, tidak dapat dipisah-pisahkan dan bahkan tidak dapat dibedakan satu dengan yang lain. Dalam sistem berpresiden murni, keduanya menyatu dalam kedudukan Presiden dan Naib Presiden. Keduanya tidak perlu dibedakan, apalagi dipisah-pisahkan.[2]
Namun demikian, sistem pemerintahan presidential yang dianut oleh UUD 1945 itu sendiri sebelum reformasi, sebenarnya tidak bersifat murni. Salah satu prinsip penting dalam sistem berpresiden adalah bahawa tanggung jawab puncak kekuasaan pemerintahan negara berada di tangan Presiden yang tidak tunduk dan bertanggungjawab kepada parlimen. Misalnya, dalam sistem berpresiden Amerika Syarikat, Presiden hanya bertanggungjawab kepada rakyat yang memilihnya melalui mekanisme pemilihan umum dan melalui kewajiban menjalankan tugas-tugas pemerintahan secara transparan dan akuntabel. Presiden Indonesia menurut UUD 1945 sebelum reformasi, harus bertunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berwenang mengangkat dan memberhentikannya menurut undang-undang dasar. Presiden menurut UUD 1945 sebelum reformasi adalah mandataris MPR yang sewaktu-waktu dapat ditarik kembali oleh MPR sebagaimana mestinya. Sifat pertanggungjawaban kepada MPR ini justru memperlihatkan adanya unsur berparlemen dalam sistem pemerintahan presidential yang dianut. Karena dapat dikatakan bahawa sistem presidentil yang dianut bersifat tidak murni, bersifat campuran, atau ‘quasi-presidentil’.[2]
Inilah yang menjadi satu alasan mengapa UUD 1945 kemudian diubah pada masa reformasi. Karena itu, salah satu butir kesepakatan pokok yang dijadikan pegangan dalam membahas agenda perubahan pertama UUD 1945 pada tahun 1999 adalah bahawa perubahan undang-undang dasar dimaksudkan untuk memperkuat sistem pemerintahan presidential. Dengan perkataan lain, istilah memurnikan sistem berpresiden atau purifikasi sistem pemerintahan presidential sebagai salah satu ide yang terkandung dalam keseluruhan pasal-pasal yang diubah atau ditambahkan dalam rangka Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001) dan Perubahan Keempat (2002) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[2]
Sesudah reformasi, Presiden dan Naib Presiden ditentukan oleh UUD 1945 harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Peranan MPR untuk memilih Presiden dan/atau Naib Presiden dibatasi hanya sebagai pengecualian iaitu apabila terdapat lowongan dalam jawatan presiden dan/atau Naib Presiden. Pengucapan sumpah jawatan Presiden dan/atau Naib Presiden memang dapat dilakukan di depan sidang paripurna MPR, tetapi pada kesempatan itu MPR sama sekali tidak melantik Presiden atau Naib Presiden sebagai bawahan. MPR hanya mengadakan persidangan untuk mempersilakan Presiden dan/atau Naib Presiden mengucapkan sumpah atau janji jabatannya sendiri di depan umum. Dengan demikian, Presiden dan Naib Presiden tidak lagi berada dalam posisi tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR seperti masa sebelum reformasi, dimana oleh Penjelasan UUD 1945 ditegaskan bahawa Presiden harus bertunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Presiden adalah mandataris MPR yang mandat kekuasaannya sewaktu-waktu dapat ditarik kembali oleh MPR. Sedangkan dalam sistem yang baru, Presiden hanya dapat diberhentikan oleh MPR melalui proses "pemakzulan" (impeachment) yang melibatkan proses hukum melalui kehakiman konstitusi di Mahkamah Konstitusi.[2]
Sekarang Presiden dan Naib Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan karenanya tunduk dan bertanggungjawab langsung kepada rakyat yang memilihnya. Inilah ciri penting upaya pemurnian dan penguatan yang dilakukan terhadap sistem pemerintahan presidensial berdasarkan UUD 1945 pasca-reformasi. Namun demikian, dalam praktik pada masa reformasi dewasa ini, sering timbul anggapan umum bahawa sistem berpresiden yang dianut dewasa ini masih beraroma berparlemen. Bahkan ada juga orang yang berpendapat bahawa sistem pemerintahan yang sekarang kita anut justru semakin memperlihatkan gejala sistem berparlemen. Jika pada masa Orde Baru, pusat kekuasaan berada sepenuhnya di tangan Presiden, maka sekarang pusat kekuasaan itu dianggap telah beralih ke DPR. Sebagai akibat pendulum perubahan dari sistem yang sebelumnya memperlihatkan gejala “executive heavy”, sekarang sebaliknya timbul gejala “legislative heavy” dalam setiap urusan pemerintahan yang berkaitan dengan fungsi parlimen.[2]
Legislatif
[sunting | sunting sumber]Majelis Permusyawaratan Rakyat
[sunting | sunting sumber]Keberadaan MPR yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi negara itu memang telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, akan tetapi keberadaannya tetap ada sehingga sistem yang dianut saat ini tidak dapat disebut sistem bikameral ataupun satu kamar, melainkan sistem tiga kamar (trikameralisme), perubahan-perubahan mendasar dalam kerangka struktur parlimen Indonesia itu memang telah terjadi mengenai hal-hal sebagai berikut. Pertama, susunan keanggotaan MPR berubah secara struktural kerana dihapuskannya keberadaan Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional representation) dari unsur keanggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR hanya terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mencerminkan prinsip perwakilan politik (political representation) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah (regional representatif). Kedua, bersamaan dengan perubahan yang bersifat struktural tersebut, fungsi MPR juga mengalami perubahan mendasar (perubahan fungsional). Majelis ini tidak lagi berfungsi sebagai badan agung (supreme body) yang memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol, dan kerana itu kewenangannya pun mengalami perubahan-perubahan mendasar.[3]
Dewan Perwakilan Rakyat
[sunting | sunting sumber]Berdasarkan ketentuan UUD 1945 pasca Perubahan keempat, fungsi legislatif berpusat di tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini jelas terlihat dalam rumusan pasal 20 ayat (1) yang baru yang menyatakan: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”. Selanjutnya dinyatakan: “setiap rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Rancangan Undang-Undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu”. Kemudian dinyatakan pula” Presiden mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang” (ayat 4), dan “dalam hal rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak rancangan Undang-Undang tersebut disetujui, rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan”.[3]
Dewan Perwakilan Daerah
[sunting | sunting sumber]Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah menurut ketentuan UUD 1945 pasca perubahan juga banyak dikritik orang. Lembaga ini semula didesain sebagai kamar kedua parlimen Indonesia pada masa depan. Akan tetapi, salah satu ciri bikameralisme yang dikenal di dunia ialah apabila kedua kamar yang dimaksud sama-sama menjalankan fungsi legislatif sebagaimana seharusnya. Padahal, jika diperhatikan DPD sama sekali tidak mempunyai kekuasaan apapun dibidang ini. DPD hanya memberikan masukan pertimbangan, usul, ataupun saran. Sedangkan yang berhak memutuskan adalah DPR, bukan DPD. Karena itu, keberadaan DPD di samping DPR tidak dapat disebut sebagai bikameralisme dalam arti yang lazim. Selama ini dipahami bahawa jika kedudukan kedua kamar itu di bidang legislatif sama kuat, maka sifat bikameralismenya disebut ‘strong becameralism’, tetapi jika kedua tidak sama kuat, maka disebut ‘soft becameralism’. Akan tetapi, dalam pengaturan UUD 1945 pasca perubahan keempat, bukan saja bahawa struktur yang dianut tidak dapat disebut sebagai ‘strong becameralism’ yang kedudukan keduanya sama kuatnya, tetapi bahkan juga tidak dapat disebut sebagai ‘soft becameralism’ sekalipun.[3]
DPD, menurut ketentuan pasal 22D (a) dapat mengajukan rancangan UU tertentu kepada DPR (ayat 1), (b) ikut membahas rancangan UU tertentu (ayat 2), (c) memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan UU APBN dan rancangan UU tertentu (ayat 2), (d) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu (ayat 3). Dengan kata lain, DPD hanya memberikan masukan, sedangkan yang memutuskan adalah DPR. Sehingga DPD ini lebih tepat disebut sebagai Dewan Pertimbangan DPR, kerana kedudukannya hanya memberikan pertimbangan kepada DPR.[3]
Eksekutif
[sunting | sunting sumber]Pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 sering dikatakan menganut sistem presidensil. Akan tetapi, sifatnya tidak murni kerana bercampur baur dengan elemen-elemen sistem berparlemen. Percampuran itu antara lain tercermin dalam konsep pertanggungjawaban Presiden kepada MPR yang termasuk ke dalam pengertian lembaga parlimen dengan kemungkinan pemberian kewenangan kepadanya untuk memberhentikan Presiden dari jabatannya, meskipun bukan kerana alasan hukum. Kenyataan inilah yang menimbulkan kekisruhan, terutama dikaitkan dengan pengalaman ketatanegaraan ketika Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan dari jabatannya. Jawaban atas kekisruhan itu adalah munculnya keinginan yang kuat agar anutan sistem pemerintahan Republik Indonesia yang bersifat Presidensil dipertegas dalam kerangka perubahan Undang-Undang Dasar 1945.[3]
Selain alasan yang bersifat kasuistis itu, dalam perkembangan praktik ketatanegaraan Indonesia selama ini memang selalu dirasakan adanya kelemahan-kelemahan dalam praktik penyelenggaraan sistem pemerintahan Indonsia berdasarkan UUD 1945. sistem pemerintahan yang dianut, dimata para ahli cenderung disebut ‘quasi presidentil’ atau sistem campuran dalam konotasi negatif, kerana dianggap banyak mengandung distorsi apabila dikaitkan dengan sistem demokrasi yang mempersyaratkan adanya mekanisme hubungan checks and balances yang lebih efektif di antara lembaga-lembaga negara yang ada. Kerana itu, dengan empat perubahan pertama UUD 1945, khususnya dengan diadopsinya sistem pemilihan Presiden langsung, dan dilakukannya perubahan struktural maupun fungsional terhadap kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka anutan sistem pemerintahan Indonesia semakin tegas sebagai sistem pemerintahan Presidensil.[3]
Kehakiman atau yudikatif
[sunting | sunting sumber]Sebelum adanya Perubahan UUD, kekuasaan kehakiman atau fungsi yudikatif (judicial) hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Lembaga Mahkamah Agung tersebut, sesuai dengan prinsip ‘independent of judiciary’ diakui bersifat mendiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengeruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama pemerintah. Prinsip kemerdekaan hakim ini selain diatur dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yakni yang berlaku saat ini adalah UU Nomor 48 tahun 2009, juga tercantum dalam penjelasan pasal 24 UUD 1945 yang menegaskan bahawa kekuasaan kehakiman tidak boleh dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lain. Namun, setelah perubahan ketiga UUD 1945 disahkan, kekuasaan kehakiman negara kita mendapat tambahan satu jenis mahkamah lain yang berada di luar Mahkamah Agung. Lembaga baru tersebut mempunyai kedudukan yang setingkat atau sederajat dengan Mahkamah Agung. Sebutannya adalah Mahkamah Konstitusi (constitutional court) yang dewasa ini makin banyak negara yang membentuknya di luar kerangka Mahkamah Agung (supreme court). Indonesia merupakan negara ke-78 yang mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri ini, setelah Austria pada tahun 1920, Italia pada tahun 1947 dan Jerman pada tahun 1948.[3]
Dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi ditentukan memiliki lima kewenangan iaitu: (a) melakukan pengujian atas konstitusionalitas Undang-Undang; (b) mengambil putusan atau sengketa kewenangan antar lembaga negara yang ditentukan menurut Undang-Undang Dasar; (c) mengambil putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahawa Presiden dan/atau Naib Presiden telah melakukan pelanggaran hukum ataupun mengalami perubahan sehingga secara hukum tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Naib Presiden menjadi terbukti dan kerana itu dapat dijadikan alasan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk memberhentikan Presiden dan/atau Naib Presiden dari jabatannya; (d) memutuskan perkara perselisihan mengenai hasil-hasil pemilihan umum, dan (e) memutuskan perkara berkenaan dengan pembubaran partai politik[3]
Mahkamah Konstitusi beranggotakan 9 orang yang memiliki integritas, dan memenuhi persyaratan kenegarawanan, serta latar belakang pengetahuan yang mendalam mengenai masalah-masalah ketatanegaraan. Ketua dan Timabalan Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggotanya sendiri yang berasal dari 3 orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3 orang yang ditentukan oleh Mahkamah Agung, dan 3 orang ditentukan oleh Presiden. Seseorang yang berminat untuk menjadi hakim konstitusi, dipersyaratkan harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Dengan komposisi dan kualitas anggotanya yang demikian. Diharapkan bahawa Mahkamah Konstitusi itu kelak akan benar-benar bersifat netral dan independen serta terhindar dari kemungkinan memihak kepada salah satu dari ketiga lembaga negara tersebut.[3]
Inspektif
[sunting | sunting sumber]Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga berkaitan dengan fungsi pengawasan khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan Negara. Karena itu, kedudukan kelembagaan Badan Pemeriksa Keuangan ini sesungguhnya berada dalam ranah kekuasaan legislatif, atau sekurang kurangnya berhimpitan dengan fungsi pengawasan yang dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh kerana itu, laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan itu harus dilaporkan atau disampaikan kepada DPR untuk ditindak lanjuti sebagaimana mestinya.[3]
Kewenangan
[sunting | sunting sumber]Dalam kaitannya dengan pemerintahan daerah, Pemerintah Indonesia merupakan pemerintah pusat. Kewenangan pemerintah pusat mencakup kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan lainnya seperti: kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi strategis, konservasi dan standardisasi nasional.
Lihat juga
[sunting | sunting sumber]- Konstitusi Indonesia
- Bendera Indonesia
- Pembagian administratif Indonesia
- Senarai Presiden Indonesia
- Senarai Naib Presiden Indonesia
- Hubungan luar negeri Indonesia
- Korupsi di Indonesia
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ https://sekalabrak.com/struktur-kekuasaan-di-indonesia-formal-dan-informal/
- ^ a b c d e f g Jimly Asshiddiqie: Institut Peradaban dan Gagasan Penguatan Sistem Pemerintahan
- ^ a b c d e f g h i j "Jimly Asshiddiqie: Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945" (PDF). Diarkibkan daripada yang asal (PDF) pada 2020-01-10. Dicapai pada 2020-08-27.
Bacaan lanjut
[sunting | sunting sumber]- Denny Indrayana (2008) Indonesian Constitutional Reform 1999-2002: An Evaluation of Constitution-Making in Transition, Kompas Book Publishing, Jakarta ISBN 978-979-709-394-5
- O'Rourke, Kevin. 2002. Reformasi: the struggle for power in post-Soeharto Indonesia. Crows Nest, NSW: Allen & Unwin. ISBN 1-86508-754-8
- Schwarz, Adam. 2000. A nation in waiting: Indonesia's search for stability. Boulder, CO: Westview Press. ISBN 0-8133-3650-3